Sunday, October 21, 2007

Rumah

Ya Tuhan..
sekali lahi saya merobohkannya. Sebuah rumah megah. Berdiri sekian lama. Beralaskan permadani, memastikan saya nyaman di dalamnya. Berhiaskan taman dan bunga-bunga membuat saya tak bosan memandangnya. Ditambah kursi sofa, yang akan membuai dengan lembut siapa pun yang duduk di atasnya. Gagah dan memberikan rasa lapang. Dengan puluhan pengawal yang akan bersorak menyambut kedatangan saya. Ke rumah itu, yang telah menunggu kehadiran saya begitu lama. Namun kali ini tak tersisa. Maafkan saya..

Karena saya telah memilih. Rumah untuk pulang. Tempat saya istirahat saat lelah.

Sebuah rumah sederhana. Kecil, dan mungkin masih ada atap yang bocor di salah satu sudutnya. Saya belum terlalu lama memeriksanya. Tapi saya akan membuatnyamenjadi besar. Menutup atapnya yang berlubang dengan segala cara. Mengecatnya dengan berbagai warna. Berharap dapat berlindung dari teriknya matahari dan derasnya hujan. Berharap dapat menjadi tempat menghimpun energi dan semangat untuk melangkah menghadapi dunia esok hari. Semoga saja

Wednesday, October 17, 2007

Kerinduan sebenarnya


Saya tarik napas dalam-dalam. Mencoba memasukkan sebanyak-banyaknya udara. Merasakannya masuk dalam paru-paru, dan membiarkan oksigen memenuhi otak saya.

Saya nikmati setiap belaian lemut angin yang berhembus lembut. Menyentuh wajah yang baru saja dibilas. Segar.

Saya cium aroma dedaunan. Saya dengar lekat-lekat gesekan daun kering di tanah, terinjak kaki manusia yang melangkah melewatinya.

Saya akan merindukan tempat ini. Saangaat merindukan tempat ini.

***


Saya nikmati sentuhan itu. Belaian lembut tangan lelaki separuh baya. Mengusap kepala yang tertutup jilbab ini. Saya angkat tangannya, menggenggam dan merapatkannya ke hidung. Sebuah cara untuk mendapatkan restu yang bukan sekadar tradisi. Berharap do'a yang keluar dari bibirnya akan selalu mengiringi langkah saya.

Tak ingin saya lepaskan pelukan perempuan di depan saya. "Hati-hati," bisiknya. Saya hanya mampu mengangguk pelan. Hanya ucapan salam yang mengantarkan kepergian saya.

Langkah kaki saya terasa berat. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Saya buka pintu mobil, duduk, dan memasng sabuk pengaman. Perasaan saya tidak enak. Sahabat di sebelah saya berkata, "Sudah, tenanglah".

Ternyata saya ketinggalan kereta.

***


Saya lambaikan tangan. Memanggil taksi yang melintas di jalan raya tempat saya berdiri. Pintu terbuka. "Ke Karangwismo, Pak," kata saya. Selama beberapa menit berikutnya saya biarkan suasana tetap hening.

Sopir taksi mencoba memecahkan keheningan yang saya ciptakan. "Lewat Wonokromo, mbak?" tanyanya. "Iya," jawab saya singkat. Saat itu yang saya inginkan hanyalah segera sampai dan kembali melanjutkan hidup. Tidak ingin saya tangisi hati yang tertinggal.

Kembali sopir taksi memecah lamunan saya. "Maaf, ini lewat Kertajaya ya,mbak?". "Iya," jawab saya lagi. Tidak nyaman juga ternyata hanya berdiam diri. Saya pun meneruskan pembicaraan dengan sopir, dengan pertanyaan yang cukup basi,"Surabaya masih sepi ya, Pak?".

Pembicaraan pun berlanjut. Dari situasi Surabaya, sampai isu paling up to date: mudik. Bapak yang ternyata asli Madiun itu bercerita juga banyak tentang keluarga dan pekerjaannya. Sayang saya lupa melihat tulisan yang tertera di tanda pengenalnya.

Sudah dua ahun ini dia tidak pulang ke Madiun. Orang tua sudah tidak ada, katanya. Sehingga tidak ada lagi yang mempersatukan perasaan anggota keluarga yang lain. "Padahal biasanya kalau ada ibu ya mbak, semua permasalahan rasanya hilang. Walaupun cuma melihat beliau saja, rasanya sudah tidak ada masalah lagi. Tapi sekarang saya sudah tidak bisa lagi," ceritanya.

Saya mengangguk. Mungkin itulah jawaban mengapa pulang ke rumah menjadi perjalanan yang paling saya nantikan. Mengapa meski hanya satu detik saja, tak ingin saya memejamkan mata saat berada di rumah. Sebab saya tahu semua masalah hilang disana. Tempat yang selalu saya rindukan, dimana selalu ada orang-orang yang merindukan saya. Dengan tulus.

karena rindu
dunia terasa sepi
tapi karena dirindukan
dunia begitu berarti
(Andi Eriawan, Ruang Rindu)

Thursday, October 4, 2007

Sukses a la Tianshi

Akhir bulan lalu saya mendapat tugas, meliput tren busana muslim Ramadhan dari beberapa butik di Surabaya. Mendengarnya, jelas saya senang sekali. Sekalian cuci mata, pikir saya.

Sebagai seorang perempuan wajar kalau saya menyukai dunia fashion. Meski harus saya akui, saya termasuk dalam golongan orang-orang yang old fashion. Tidak pernah mengikuti perkembangan dunia fashion. Buat apa, menurut saya. Toh tidak semua pakaian yang sedang menjadi tren dikalangan anak muda seperti saya, kalau boleh saya menyebut diri saya begitu, cocok untuk bentuk tubuh. Jadi menurut hemat saya lebih baik berpakaian ala kadarnya, yang penting nyaman dipakai dan tidak bertenangan dengan aturan yang saya anut.Apapun yang akan orang katakan.

Bukan hanya old fashion, saya juga termasuk orang yang cuek terhadap tanggapan orang lain mengenai penampilan saya. Bagi saya, rasa nyaman dan percaya diri ketika mengenakan satu busana jauh lebih penting daripada komentar orang terhadap warna atau model baju yang saya pilih.

Meski demikian saya masih tetap seperti perempuan kebanyakan yang gila fashion. Berkeliling ke toko-toko pakaian, mengincar diskonan, melihat-lihat dan bahkan mencoba beberapa baju bermerk yang mungkin saya harus menabung terlebih dahulu untuk membelinya, dan membayangkan seandainya saya mengenakan baju tesebut. Gila memang.

Kesempatan mengunjungi beberapa butik tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk cuci mata. Sekadar melihat model, siapa tahu bisa ditiru. Sebab lembaran di dompet saya tidak cukup untuk membelinya.Mengeluarkan kartu ATM?Saya masih cukup rasional untuk tidak mengeluarkan kocek demi sepasang kain cantik berpayet yang sangat dewasa.

Namun salah satu narasumber yang ingin saya temui tidak ada di butik miliknya. Wawancara pun akhirnya saya lakukan via telepon. Merasa kuran puas, saya akhirnya mengajaknya untuk bertemu. Sang narasumber yang merupakan bisnis woman ini pun menyanggupi. "Baik mbak, jam 1 di toko ya," katanya waktu itu.

Jam 1 lewat 15 menit saya datang kebutiknya yang berada di kawasan dukuh kupang. Menurut sekretarisnya, orang yang saya tunggu ini belum tiba dari Gresik. Dengan penuh kesabaran, saya memutuskan untuk menunggu sambil melihat-lihat pakaian saja.

30 menit berlalu. Tapi orang yang saya tunggu belum juga tiba. Merasa kasihan melihat saya yang mondar-mandir sambil sekadar memilah-milah pakaian, ibu sekretaris pun menghubungi narasumber saya. Beberapa menit berbicara di telepon, saya pun memutuskan menemuinya dia Wisma Tiara, tempat narasumber saya akan melakukan aktivitas berikutnya.

Wisma Tiara adalah sebuah gedung perkantoran di bilangan panglima sudirman. Perlu memutari jalan panglima sudirman dan basuki rahmat dua kali bagi saya untuk menemukan gedung dengan tulisan Wisma Tiara tersebut.


Sesuai dengan anjuran narasumber, setelah memasuki Wisma Tiara saya pun langsung menuju lantai 5. Pada awalnya saya merasa aneh. Semua orang yang saya temui di lift menuju lantai lima. Mereka mengenakan pakaian formal, berjas dan berdasi. Padahal seingat saya gedung ini berlantai 9. Kenapa hanya lanati 5 yang jadi tujuan? Namun, pertanyaan saya terjawab setelah saya menginjakkan kaki dia lantai 5.

Saya mengeluarkan HP dan menekan nomor yang sudah beberapa kali saya telepon. "Bu, saya sudah di lantai lima," kata saya seketika mendengan telepon diangkat dari seberang. "O'ya sebentar mbak. Saya masih di tol Gresik. Dua puluh menit lagi saya sampai. Mbak masuk saja ke ruangan, nanti disitu diminta registrasi 7ribu. Nanit saya ganti mbak. Duduk di depan ya! Itu juga ilmu kok," jawab narasumber saya tanpa tersela.

Seandainya tidak didesak keperluan wawancara, saya yakin tidak akan pernah menginjakkan kaki di ruangan tersebut. Sekalipun ada undangan dengan iming-iming ditraktir makan sekalipun.

Memasuki ruangan tidak terlalu luas tersebut saya memutuskan duduk di pinggir. Supaya terlihat oleh narasumber saya. Di sebelah saya seorang ibu-ibu berpakaian sederhana, terlihat mengangguk-angguk sambil sesekali berbisik dengan rekan di sampingnya, mendengar penjelasan seorang presentasi di depan. dr.Dewi, begitu orang-orang berjas itu menyebut presenter itu. Saat saya masuk, dr.Dewi sedang menjelaskan kaki-kaki atau anak cabang yang menghubungkan dari satu member dengan member lain. Juga tentang perhitungan keuntungan yang akan diperoleh per bulan saat seorang member bisa memasukkan member baru untuk bergabung.

Ya, saya ada dalam ruangan OPP Tianshi. Tak usai-usainya saya merasa heran, kenapa akhirnya nasib membawa saya untuk datang di acara ini. Padahal ajakan beberapa teman sesama Magetanisti yang sukses mempopulerkan di daerah asal saya sejak beberapa tahun lalu selalu saya abaikan. Saya tolak mentah-mentah bahkan. Dengan dalil-dalil yang saya buat sendiri. Dengan keraguan saya akan kebenaran syar'inya. Dengan alasan kesibukan, dan lain sebagainya.

Namun, demi tuntutan pekerjaan saya pun mengikuti acara tersebut dengan seksama. 20 menit berlalu. 30 menit. 40 menit. Satu jam berlalu sudah. Sementara narasumber yang saya tunggu belum juga tiba. Waktu pun akhirnya saya lalui dengan memandang heran kepada para peserta OPP. Bertepuk tangan setiap kali ada seseorang yang menunjukkan betapa suksesnya dia sebab mendapatkan gaji 20 juta perbulan. Atau betapa suksesnya dia karena telah berhasil mendapatkan mercy. Bahkan, tepuk tangan pun diberikan untuk sebuah tayangan video yang menampakkan seorang member yang telah sukses mendapatkan helikopter dan menempati bintang tertinggi di struktur 'kaki-kaki', bergitu saya menyebutnya, Tianshi.

Mungkin ini adalah bentuk kesuksesan bagi mereka. Pikir saya. Saya tidak mau memberikan judgment, apakah pandangan saya atau konsep kesuksesan mereka yang benar. Tapi saya akhirnya memahami, kesuksesan bisa kita peroleh ketika kita juga membantu orang lain untuk menjadi sukses. Maka jangan pernah menganggap orang lain sebagai kompetitor yang akan harus kita jatuhkan. Melainkan bantulah orang lain untuk mencapai kesuksesan, maka kita akan mendapatkannya dua kali lipat.

Satu jam lebih menunggu, narasumber saya akhirnya datang juga. Akan tetapi tidak serta merta saya bisa langsung melakukan wawancara. "Sebentar ya mbak, habis ini saya peresentasi di depan," katanya. Rupanya narasumber saya itu adalah salah satu bintang 8 di Surabaya yang telah memperoleh pendapatan 40 juta perbulan.

20 menit menunggunya dan 2 orang lain presentasi di panggung, akhirnya giliran saya untuk wawancara tiba. Cukup 15 menit kami berdialog. Data tambahan sudah cukup bagi saya. Saya pun pulang dengan membawa segudang ilmu tentang Tianshi dan 'kaki-kaki'. Juga tentang sebuah arti kesuksesan.