Friday, August 8, 2008

Bingung

Kaki saya berlari mengejar akhirat
Sementara pandangan tak pernah bisa lepas dari dunia

Ah, mengapa tubuh saya sulit sekali saling berkompromi?

Wednesday, July 30, 2008

Sancaka

Saya tak bergeming. Hanya sesekali menengok, menerawang jauh, bertanya-tanya adakah tanda-tanda yang saya tunggu muncul.

Beberapa kereta lewat sudah. Satu, dua, tiga. ini sudah enatah yang ke berapa kali tiupan peluit panjang terdengar. Memanggil-manggil saya untuk segera beranjak. Mengepulkan asap keperkasaan. Menggerakkan kokohnya roda besi menggetarkan hati.

Saya tetap tak bergeming. Kereta-kereta itu, jujur saja, menggelitik pikiran saya. Menggoda kesabaran yang kukuh saya dirikan. Apalagi tujuan tak berbeda. Bahkan datang lebih cepat dari prediksi saya.

Tapi tubuh saya tak bergerak. Meski badan sudah pegal-pegal menunggu lama. Rasa juga mulai gulana. Hati juga hampir lelah. Menunggu Sancaka jurusan Surabaya-Jogja tiba.

Wednesday, June 25, 2008

Nah, lho...


Jadi cuma obsesi?
it's better for u not to expect too much, then...


Saturday, June 7, 2008

You're Amazing

“Bisa nggak ya?”

Ah, keluhan yang beberapa waktu terakhir kerap saya dengar. Sahabat saya itu, seorang calon sarjana komputer salah satu universitas negeri terbesar di Indonesia yang sedang resah sebab tugas akhir yang tak kunjung kelar. Ditambah bonus beberapa mata kuliah yang masih diulangnya, karena IPK belum mencapai target yang dia inginkan.

Sahabat saya itu mungkin tidak sangat istimewa. Penampilannya juga biasa-biasa saja. Tak pernah saya mendengarnya berbicara tentang kelebihannya. Tapi dari setiap diskusi yang acap kami lakukan saya tahu ada potensi besar dalam dirinya. Semangatnya besar. Adakalanya saya bisa melihat kobaran api dalam matanya saat ia bertutur. Pantas saja, sebab dia penah duduk di satu jabatan penting dalam sebuah organisasi, dulu.

Debat panjang tentang agama pun tak jarang kami lakukan. Saya jelas tak mau kalah. Berpegang pada pandangan-pandangan sederhana saya tentang persoalan agama, saya selalu ngeyel. Sayangnya, referensi saya memang terlalu sedikit, sehingga lebih sering saya diam saja mendengar teori-teorinya, juga cerita pengalaman praktisnya.

Sebaliknya, di satu waktu dia tampak begitu pesimis. Tak ada api dalam matanya yang kecil. Seolah dunia jadi beban di pundaknya. Dan bagi saya, kadangkala itu wajar dirasakan oleh anak pertama seperti dia, dan juga saya.

“Aku gak pengen mengecewakan ibu, dan orang-orang yang kusayang,”. Begitu katanya dalam sebuah percakapan kami di telepon. Hmmm... bagus juga niatmu, pikir saya waktu itu. Mereka pasti bangga mendengar kata-kata itu. Tapi saya cuma diam dan manggut-manggut.

Perasaan yang sama pernah saya rasakan tepat setahun lalu. Waktu itu saya sedang dikejar deadline skripsi. Sama seperti dia, keragu-raguan selalu hinggap dikepala saya. Membisiki dan menghantui tidur saya.

Parahnya, semua kesalahan yang ada di skripsi seolah terbongkar di depan mata saya tepat seminggu sebelum jadwal pengumpulan terakhir. Fatal lagi. Saya stress. Bingung. Mau merubah rumusan masalah, berarti saya membongkar seluruh skripsi. Mau merubah analisis, hueekksss perut saya sudah mual mendengar kata tersebut. Belum lagi air mata yang terus menetes setiap orang rumah menelepon. Malu sebenarnya, tapi sudah tidak nahan.

Menghubungi dosen akhirnya jadi pilihan terakhir. Untung dosen saya orang yang bijak dan mau bekerjasama. Buktinya, ditelepon malam-malam untuk curhat masalah skripsi beliau tetap available. Walaupun, kata teman-teman, beliau bukan pakar pada metode yang saya ambil. Pernah suatu kali saya bertanya tentang parameter yang jelas tentang Reception Analysis, metode yang saya gunakan dalam skripsi. Maksud hati ingin mengajak beliau berdiskusi, namun beliau malah bertanya balik, “Apa ya? Menurutmu apa?,” Glodak.

Saya sih maklum saja. Beliau memang bukan ahli metodologi, bukan pula pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, namun seorang praktisi gender. Sementara skripsi saya blas tidak ada sangkut pautnya dengan gender. Dan saya berani mengacungkan empat jempol untuk pemikiran-pemikiran beliau tentang permasalahan gender di Indonesia, disamping cara beliau memotivasi mahasiswa bimbingannya yang sedang diambang kehancuran, seperti saya.

Itu tentang saya. Keraguan yang sama, saya yakin, pasti dialami mereka yang berada pada fase seperti tersebut, termasuk sahabat saya itu. Keluarga dan orang-orang terdekat, pada fase seperti itu, benar-benar terasa memiliki peran penting untuk membangun motivasi. Bila setahun yang lalu sahabat saya itu pernah memberi dorongan pada saya walau sebatas SMS, kini bagian saya yang push forward. Yah, tidak banyak tentunya sebab saya buta tentang pemrograman. Saya juga cuma bisa berkata:

Sahabat, you are amazing, more than what you think you are.

Tuesday, May 27, 2008

Jogja...Jogja.. (Part Two)


"Pokoke yo, idealnya, memulai kehidupan baru iku yo di tempat yang baru,"

"Halah gayamu..jeng..jeng,"

"Leh yo ngono, soale kan dengan berada di lingkungan baru kita bisa membentuk diri kita yang baru. Jadi yang dinilai orang iku siapa yang mereka lihat, bukan siapa kita sebelumnya, ngono loh mudeng ra?"

"Lha emange awakmu arep memulai kehidupan baru neng endi toh?"

"Yo selain Suroboyo lah pokoke. Karo Magetan, secara 18 tahun urip neng Magetan getooo. Yo Bandung kek, utowo Malang, utowo Yogjo. Pokoke pengenku sih kota besar yang tidak lebih besar dari Surabaya ngono, mereka membutuhkan sentuhanku disana. Hahahaha"

xxx

"Mau hijrah ke Jogja, Pak,"

"Lho mau ngapain ke Jogja? Emang kamu mau S2?"

"Eeeeeemmm.. keliatannya sih gitu, Pak"

"Trus kapan kamu mau berangkat?"

"Rencananya sih minggu depan, tanggal 18. Tapi mau ke Semarang dulu. Ada acara di sana,"

"Trus mulai off kapan?"

"Ya tanggal 18 itu, Pak. Nanti itu jadi hari terakhir saya. Jadi liputan tentang Wedding Organizer itu saya selesaikan dulu trus malamnya saya langsung berangkat ke Semarang, Pak,"

"Trus ke Jogjanya?"

"Ya mungkin setelah tiga hari di Semarang,"

"Ya sudah, jangan lupa bikin surat ke Mbak Diah, biar kamu dapat pesangon,"

"Terimakasih, Pak"

xxx

It seems like my words come true. Di kota inilah saya sekarang berada

Sunday, May 11, 2008

Pertarungan

Saya adalah pemenang
Ya, saya selalu menjadi pemenang
Dalam setiap pertarungan saya tak pernah kalah
Selalu jadi pemenang
Tanpa perlu berkeringat
Apalagi berdarah-darah

Tapi itu dulu

Hingga akhirnya saya mengerti anyir bau darah
Paham asinnya keringat
Hapal kata orang "kalah dulu kalau mau menang"
Atau dongeng tentang si pecundang yang berjuang bangkit dari kekalahan
Lalu akhirnya menang

Tapi tolong ingatkan saya
Bagaimana rasanya menjadi pemenang

Tuesday, May 6, 2008

Fela dan Dewi Persik


Kakak sepupu saya sedang gundah. Fela, anak gadisnya yang masih berusia 3 tahun sudah tak betah berada di rumah. Memang, setahun belakangan gadis kecil ini terus merengek minta sekolah kepada mamanya. “Aku tuh bosen loh ma kalo di rumah terus,” begitu rayunya.

Untuk anak seusianya, Fela tergolong cerdas. Sudah berapa puluh lagu yang ia hafal. Meski dia tak pernah tahu apa maksud dari liriknya, sebab hampir semuanya lagu orang dewasa. Diajari Bahasa Inggris pun tak susah. Sebelas angka dalam Bahasa Inggris sudah dihafalnya walaupun diucapkan dengan gaya cadel. Mengaji pun ia bisa. “Sudah sampe ka, ik!” katanya pada saya.

Bulan Juli tahun ini ia akan masuk sekolah. Belum TK, masih Playgroup. Kakak saya ingin agar anaknya beradaptasi dengan teman sebayanya terlebih dulu sebelum ia benar-benar merasakan sekolah.

Begitu banyak pilihan yang datang pada kakak sepupu saya. Maklum, perkembangan lembaga pendidikan berjalan cukup pesat di kota kecil seperti Magetan. Namun keinginan kakak saya tak pernah jauh dari satu hal: anaknya harus masuk sekolah Islam.

Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Selain pengetahuan ke-Islaman kedua orang tua yang pas-pasan, kakak saya ingin memastikan bahwa anaknya berada di tangan orang-orang yang dipercaya mampu memberikan ilmu agama, bahkan melebihi apa yang ia tahu. Apalagi, kedua orang tua Fela adalah orang sibuk. Mamanya, kakak sepupu saya, adalah sekretaris pribadi Bupati Magetan yang sedang menjabat saat ini. Sementara ayahnya adalah seorang mantri (begitu mereka mengistilahkan) Bank milik pemerintah. Kondisi pekerjaan mengharuskan mereka berangkat pagi dan pulang sore setiap harinya. Sementara saat mereka tak di rumah, Fela diurus oleh pembantu dengan pendidikan terakhir tamatan SMP.

Kesibukan kedua orang tua memang tak dapat menjadi pembenaran bahwa pendidikan anak menjadi urusan orang lain. Namun terkadang jika kondisi memaksa, penting untuk mencari orang-orang di luar keluarga dengan bekal pendidikan memadai sebagai supplier ilmu, selain yang diberikan oleh keluarga. Dan karena itulah kakak saya memilih memasukkan anaknya di salah satu sekolah Islam di kota saya. Bukan hanya agar Fela memiliki ilmu agama yang cukup, jauh melebihi itu, ia ingin agar Fela memiliki akhlakul karimah, akhlak yang mulia. Dan saya salah satu orang yang sangat mendukung keinginan kakak saya. Sebab sedikit banyak saya termasuk golongan penganut teori tabula rasa, meski yakin bahwa tetap ada campur tangan Tuhan di sana.



Kakak saya mungkin salah satu diantara sekian banyak orang yang percaya bahwa akhlak adalah dasar dari segala sesuatu. Akhlak bisa dibentuk dari kondisi lingkungan, termasuk budaya dan agama. Meski keberadaanya tak dapat diukur, namun saya yakin, semua orang memiliki standar yang sama tentang mana yang baik dan mana yang bukan. Semua orang dari suku apapun dan dari agama manapun.

Maka saya heran kepada media massa dan sekian banyak orang yang masih mempertanyakan mengapa para pimpinan daerah itu mencekal goyangan erotis Dewi Persik. Dengan dalih, masih banyak masalah besar yang harus mereka selesaikan seperti kemiskinan serta korupsi yang makin merajalela, tapi justru itu adalah hiburan bagi masyarakat kecil.

Oya?

Benar, goyangan para artis dangdut tersebut tidak akan menimbulkan kemiskinan. Juga bukan tindakan kriminal seperti korupsi. Namun tidakkah mereka sadar, bahwa goyangan yang tersaji di depan umum itu adalah layaknya virus yang langsung menyerang akhlak para penontonnya. Dan tidakkah mereka sadar, bahwa tindakan korupsi yang menjadi pemicu meningkatnya tingkat kemiskinan di Indonesia adalah karena para pemimpin itu tak memiliki akhlak mulia.

Maka bayangkan bagaimana Indonesia ketika akhlak manusia-manusianya telah terkena virus.

Saturday, February 23, 2008

Jogja... Jogja...

Jogja tahun 2003
Kesan saya: “Kok jalannya ini-ini aja sih?”. Bukan berarti saya menyepelekan jalanan super rame Kota Gudeg itu, tapi apa yang saya lihat memang pemandangan yang hampir sama di setiap sudutnya. Padahal waktu itu adalah kali pertama saya pergi ke Jogja bukan untuk piknik. Catat: bukan untuk piknik. Melainkan untuk mempertaruhkan masa depan saya di atas sebuah kertas bertuliskan Lembar Jawaban Ujian Masuk Universitas Gajah Mada. Sementara tahun-tahun sebelumnya Jogja yang saya tahu hanyalah Candi Borobudur, Malioboro, dan Pantai Parang Tritis. Namun perasaan boring dan sumpek melihat Jogja dari balik jendela mobil lebih kuat mempengaruhi pikiran, saat seorang teman mengantar kami, tiga orang gadis desa yang mencoba peruntungan demi cita-cita, berkeliling menikmati indahnya kota seni itu. Akhirnya keengganan untuk menghabiskan masa studi di sana pun tumbuh. Alhasil nama Ajeng Rahadini Indraswari tak tertulis di papan pengumuman penerimaan UM UGM. Ralat...sebenarnya faktor tidak bisa menjawab soal-soal ujian memiliki kontribusi lebih besar daripada perasaan enggan tinggal di Jogja bagi kegagalan saya.


Jogja tahun 2005
Jogja Plaza Hotel. Hotel berbintang empat di kawasan ..... ah saya tak tahu nama daerahnya, yang pasti letaknya tak jauh dari Universitas Sanata Dharma, seingat saya, menjadi saksi satu momen berkesan dalam hidup saya. Kami ber-empat ratus dari seluruh pelosok tanah air berkumpul di tempat ini, bukan untuk melakukan huru-hara, namun yah, sekedar gathering saja. Tentu saya tidak kenal semuanya, tapi setidaknya tiga puluh dari mereka saya yakin kenal. Kedatangan kali ini juga tak butuh pengorbanan dan perasaan cemas akan hari depan seperti sebelumnya, sebab di Jogja kali ini saya datang untuk bersenang-senang. Menikmati berada perangkap bukit-bukit tinggi di Kaliurang, mengagumi bukti cinta teramat besar Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang, yang pasti napak tilas perjalanan para Raja jaman kuno (untuk yang satu ini sebenarnya sudah terlalu sering sih), dan juga menghabiskan sisa receh untuk memborong gelang di Malioboro (lagi...). Jogja terasa lebih menarik kali ini.


Jogja tahun 2006
Saya kembali lagi. Sayangnya tak lama, juga tanpa perjalanan menyusuri jalan “yang itu-itu saja”. Namun... whoaa... mata saya tak bisa lepas dari kepulan asap di pucuk Merapi yang terasa sangat dekat. Keindahannya mengalahkan rasa lelah kami saat mengikuti outbond training di Kalikuning selama 2 hari. Seolah kepulan asap itu ikut menghangatkan tubuh berlapis kaus yang tersiram air hujan selama dua sore berturut-turut. Mungkin saya akan kembali ke Jogja nanti.


Jogja tahun 2007
Jogja (saya) kembali (lagi). Dan ini menjadi pengalaman pertama bagi mata saya melihat dan merasakan angin malam Jogja. Merasakan keramaian pemuda di sekitar Bunderan Jogja (akhirnya...), setelah menodong temang untuk mengantar saya kesana malam-malam, juga menguji mitos akan terkabulnya permintaan saya jika berhasil melewati diantara dua pohon beringin di alun-alun kidul dan berhasil. Sayangnya ternyata mitos itu salah total, buktinya permintaan saya tidak terkabul. Waktu itu saya mohon agar tubuh saya bertambah tinggi hingga 165 cm sehingga lolos masuk seleksi reporter Metro TV, namun nyatanya sampai sekarang tinggi saya tak lebih banyak dari 5 kaki. Jogja kali ini juga memperlihatkan pada saya view-nya dari dataran tinggi serta pemandangan puncak Merapi sekali lagi, tapi bukan dari Kalikuning, melainkan dari Ketep Pass. Pun, Kaliurang mempertontonkan keindahannya sekali lagi, meski saya tidak berhasil menemukan tujuan wisata utamanya: air terjun. Dan Jogja memang menarik.

Jogja tahun 2008
Belum kesana lagi. Semoga saya bisa Jogja kembali. Dan saya akan napak tilas semua perjalanan yang pernah terlewati. Tak lupa menyiapkan permohonan yang lebih realistis (hehehe). Juga dompet yang penuh untuk membeli gelang (yang mungkin saja saya jual lagi kalau sedang bokek :p). Karena Jogja lebih dari sekedar menarik.

Pak Tua

Tongkat hitam besi menuntut langkahnya yang sedikit gontai. Salah satu kakinya kurang berfungsi mungkin sehingga membutuhkan tongkat itu untuk membantunya berjalan tegak. Lelaki paruh baya itupun berhenti di depan saya. Saya mengelengkan kepala sebab memang tidak ada uang kecil yang bisa saya masukkan ke dalam gelas bekas air mineral dalam genggamannya. Begitu pula dengan seorang ibu di depan saya.

Tak lebih dari satu meter meninggalkan tempat saya duduk, suara anak kecil memanggilnya. Membawa selembar dua puluh ribuan di tangan kanannya, seorang lelaki kecil berlari mendekat pada pak tua. Kulitnya hitam. Badannya kecil. Umurnya mungkin baru belasan tahun. Pakaiannya cukup bersih dengan sepasang sepatu hitam putih sebagai alasnya. “Tukar uang, Pak,” katanya.

Menahan rasa terkejut sekaligus keinginan untuk tertawa, saya mengamati kedua orang yang memiliki wilayah kerja yang sama tersebut. Setelah menerima selembar uang dari si bocah, dengan santainya si bapak meletakkan tongkat yang membantunya berjalan, dan berdiri tegak dengan kedua kakinya. Tidak tampak ada keganjilan dalam kaki kirinya. Kaki yang setahu saya memerlukan tongkat besi hitam untuk menjaganya tetap tegak. Sementara kedua tangannya kini sibuk mencari pecahan uang kecil untuk si bocah di dalam kantung pada ikat pingganggnya. Usai transaksi, bapak tua meraih tongkat hitamnya dan kembali berjalan seperti saat dia mendekati saya tadi.

Jaman sekarang. Orang semakin kreatif saja mencari cara mendapatkan uang. Maklum uang menjadi segalanya saat ini. Saat semua hal sekalipun dalam hidup membutuhkan uang.Lihat saja. Kalau dulu setiap kali naik kendaraan umum kita hanya akan menemui penjual buah, air mineral, serta buku-buku primbon, kini variasinya semakin bertambah. Apalagi dalam kereta ekonomi seperti yang saya tumpangi. Mulai dari penjual makanan dan minuman “konvensional” hingga yang siap saji, seperti mie instan cup dan kopi instan. Hanya bermodal satu termos berisi air panas dan puluhan makanan dan minuman instan dalam sachet, untung pun diraih. Voucher isi ulang “berjalan” pun ada. Sehingga penumpang tak perlu khawatir jika kehabisan pulsa telepon seluler. Ada pula jasa cleaning service yang akan membersihkan lantai sepanjang gerbong. Tak gratis tentunya. Bayarannya, cukup memasukkan uang kecil seikhlasnya di kantung atau gelas bekas yang telah tersedia. Rejeki memang selalu datang dari cara-cara ya tidak pernah diketahui sebelumnya.

Sandainya saja pak tua memanfaatkan tubuhnya yang masih kekar, mungkin ia akan mendapatkan sesuatu “lebih” tanpa perlu membohongi dirinya sendiri.

Wednesday, January 30, 2008

Sendiri

Tak seorang pun di dunia ini mengerti
Kalimat yang kuucap
Dengan bahasaku
Bahkan saat aku mencoba menggunakan bahasa mereka
Tetap tak pernah mereka mengerti
Dan aku hanya bisa menangis
Tak tahu dengan cara apalagi aku akan membuat mereka mengerti kalimatku

Saat aku tak lagi bisa mengendalikan dunia
Saat aku melihat bolaku terlepas dari genggaman
Saat aku tak mampu menuliskan sebuah kisah mengesankan pada skenario hidupku
Dengan penaku sendiri
Saat aku tak kuasa menentukan jalan mana yang harus kulalui
Untuk sampai ke taman firdaus yang dibangun untukku
Bahkan membayangkannya pun aku tak bisa
Sementara aku hanya bisa menangis
Atas segala ketidakberdayaanku

Aku memang manusia sombong
Yang tak mau mengaku kalah dalam pertarungan ini
Yang tidak sabar menunggu waktu lebih lama untuk membuat naskah yang jauh lebih menarik dengan segala lika-likunya
Yang terlampau cepat merasa lelah berjalan di lorong panjang, gelap, dan berliku menuju istana
Dan hanya mau melewati jalan pintas lebar beraspal yang tak mungkin ditemui
Yang merasa bisa menghalau topan dalam kesendirian
Sementara tubuhku tak lebih besar dari setitik debu
Yang tak rela melihat manusia lain memegang batangan emas
Sedangkan aku hanya mengantongi bijih besi
Yang hanya ingin dimengerti dan didengar
Sementara tak pernah mau mengerti dan mendengar kata-kata mereka
Yang selalu merasa miskin diantara harta yang menggunung
Aku hanya bisa menangis

Sedangkan aku tak pernah menyadari
Inilah cara Tuhan mencintaiku
Inilah cara mereka menunjukkan kasih sayangnya padaku
Inilah cara dunia mendewasakanku
Bahwa kegelapan akan menghapus rasa takutku
Bahwa jalan berbatu akan mengajariku untuk berlari tanpa terjatuh
Bahwa angin akan menunjukkan cara menguatkan tubuh rapuhku
Bahwa hujan akan menghapus air mataku
Dan aku benar-benar menangis

Wednesday, January 2, 2008

Hepi Nyu Yii

Tak terasa setahun sudah berlalu sejak saya menikmati pesta kembang api di alun-alun Magetan pada pergantian tahun 2007 lalu. Banyak hal yang mempengaruhi hidup saya selama satu tahun saya melewatinya. mulai dari magang di Metro TV Surabaya yang sedikit banyak membuka mata saya akan kehidupan kaum pers, plus membuat saya kembali melirik profesi reporter yang sekian lama saya pendam. Lalu skripsi yang menyedot hampir seluruh energi dan pikiran, serta mengajarkan bagaimana menjadi seorang pemberani. Berani mencoba hal baru. Berani bertanggungjawab. Berani nyleneh. Juga berani melek sendirian di tengah malam.

Lulus, dan lolos dari jeratan duo macan penguji skripsi saya, adalah salah satu titik balik kehidupan saya tahun lalu. Semua berubah. Mulai dari pola pikir hingga pola tidur. Sebenarnya untuk hal yang saya sebut terakhir, sejak proses pengerjaan skripsi memang sudah berubah total. Terutama 2 bulan terakhir. Ditambah lagi pekerjaan*, serta suara cempreng si kurus**. Benar-benar mengganggu kehidupan malam saya bersama guter (guling tercinta)***.

Tapi di tahun 2008 ini, pantaslah saya menginginkan hal yang lebih:
  1. Mendapatkan pekerjaan baru secepat mungkin. Meski masih ada dilema dalam diri saya, sebab orang tua yang ingin anaknya jadi seperti orang kantoran biasa yang tunduk pada aturan sementara sang anak yang ndablek dan menginginkan pekerjaan yang bisa membawanya keliling dunia, tapi keinginan saya tetap bulat. Saya ingin segera mandiri dan tak lagi menjadi beban orang tua, negara, dan agama. Selain itu pinginnya saya bisa bagi-bagi angpao (lagi) pada keponakan yang jumlahnya kian banyak saja, juga cucu-cucu saya. Maklum, meski terbilang masih muda, saya sudah dipanggil oma oleh beberapa anggota keluarga. (Hhhh..)
  2. Pergi menemui kawan-kawan lama saya di Makassar.... dengan syarat, harus gratis! Untuk hal yang satu ini, saya memang sedikit terobsesi. Bahkan saya punya angan-angan untuk bersuamikan orang Makassar, jadi saya bisa tinggal di sana. Wakakakakak... Sayangnya para biro jodoh saya di sana belum menemukan satu yang tepat, padahal foto-foto sudah disebar. heuheuheu...
  3. Menikah. Meski menurut perhitungan logis yang sudah saya lakukan bertahun-tahun yang lalu bahwasanya secara mental, spiritual, maupun material saya baru siap menikah setahun setelah bekerja, dimana itu berarti kemungkinan saya baru akan menikah tahun 2009 nanti dikarenakan sampai tahun ini saya belum bekerja, saya tak pernah putus asa untuk tetap menyimpan keinginan menikah di usia 23. It means, this year I have to get marry. Saya tidak ingin dipanggil nenek oleh teman-teman anak-anak saya ketika saya mengantarkan mereka ke TK kelak. "Eh kamu diantar nenekmu ya?Wah cantik banget ya nenekmu?Arggh.. what a nightmare. Tetap tidak membangakan meski mereka mengatakan saya cantik. Singkatnya ingin hidup happily ever after dengan lelaki yang akan menjadi partner saya berpetualang menghadapi dunia. (heuheuheu.....)

Yah.. meski sedikit terlambat,,

SeLAmaT tAHun bARu..
sEMogA Allah seNAntIAsa mELimPAhkaN rAHmat kEPAda kiTA uMAt yANG seLALu MencINtaI-Nya

Amien..


*)Saya sempat bekerja sebagai seorang reporter yang mengharuskan saya untuk selalu pulang malam dan tidur lewat tengah malam
**)Kurus adalah sejenis nama orang aneh yang memandang saya dengan kacamata aneh juga. Dia selalu mengatakan saya gendut, padahal ...bahkan tukang pom bensin yang tidak kenal pun mengatakan saya lansing. Tapi kata-kata kurus tidak akan menyurutkan keistiqamahan saya untuk makan dengan porsi berlebih.
***)Guter adalah guling jelek nan kusut tapi sangat empuk dan selalu menemani tidur saya. Saya tetap mencintainya meski teman-teman saya mencemooh kondisinya.