Saturday, February 23, 2008

Jogja... Jogja...

Jogja tahun 2003
Kesan saya: “Kok jalannya ini-ini aja sih?”. Bukan berarti saya menyepelekan jalanan super rame Kota Gudeg itu, tapi apa yang saya lihat memang pemandangan yang hampir sama di setiap sudutnya. Padahal waktu itu adalah kali pertama saya pergi ke Jogja bukan untuk piknik. Catat: bukan untuk piknik. Melainkan untuk mempertaruhkan masa depan saya di atas sebuah kertas bertuliskan Lembar Jawaban Ujian Masuk Universitas Gajah Mada. Sementara tahun-tahun sebelumnya Jogja yang saya tahu hanyalah Candi Borobudur, Malioboro, dan Pantai Parang Tritis. Namun perasaan boring dan sumpek melihat Jogja dari balik jendela mobil lebih kuat mempengaruhi pikiran, saat seorang teman mengantar kami, tiga orang gadis desa yang mencoba peruntungan demi cita-cita, berkeliling menikmati indahnya kota seni itu. Akhirnya keengganan untuk menghabiskan masa studi di sana pun tumbuh. Alhasil nama Ajeng Rahadini Indraswari tak tertulis di papan pengumuman penerimaan UM UGM. Ralat...sebenarnya faktor tidak bisa menjawab soal-soal ujian memiliki kontribusi lebih besar daripada perasaan enggan tinggal di Jogja bagi kegagalan saya.


Jogja tahun 2005
Jogja Plaza Hotel. Hotel berbintang empat di kawasan ..... ah saya tak tahu nama daerahnya, yang pasti letaknya tak jauh dari Universitas Sanata Dharma, seingat saya, menjadi saksi satu momen berkesan dalam hidup saya. Kami ber-empat ratus dari seluruh pelosok tanah air berkumpul di tempat ini, bukan untuk melakukan huru-hara, namun yah, sekedar gathering saja. Tentu saya tidak kenal semuanya, tapi setidaknya tiga puluh dari mereka saya yakin kenal. Kedatangan kali ini juga tak butuh pengorbanan dan perasaan cemas akan hari depan seperti sebelumnya, sebab di Jogja kali ini saya datang untuk bersenang-senang. Menikmati berada perangkap bukit-bukit tinggi di Kaliurang, mengagumi bukti cinta teramat besar Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang, yang pasti napak tilas perjalanan para Raja jaman kuno (untuk yang satu ini sebenarnya sudah terlalu sering sih), dan juga menghabiskan sisa receh untuk memborong gelang di Malioboro (lagi...). Jogja terasa lebih menarik kali ini.


Jogja tahun 2006
Saya kembali lagi. Sayangnya tak lama, juga tanpa perjalanan menyusuri jalan “yang itu-itu saja”. Namun... whoaa... mata saya tak bisa lepas dari kepulan asap di pucuk Merapi yang terasa sangat dekat. Keindahannya mengalahkan rasa lelah kami saat mengikuti outbond training di Kalikuning selama 2 hari. Seolah kepulan asap itu ikut menghangatkan tubuh berlapis kaus yang tersiram air hujan selama dua sore berturut-turut. Mungkin saya akan kembali ke Jogja nanti.


Jogja tahun 2007
Jogja (saya) kembali (lagi). Dan ini menjadi pengalaman pertama bagi mata saya melihat dan merasakan angin malam Jogja. Merasakan keramaian pemuda di sekitar Bunderan Jogja (akhirnya...), setelah menodong temang untuk mengantar saya kesana malam-malam, juga menguji mitos akan terkabulnya permintaan saya jika berhasil melewati diantara dua pohon beringin di alun-alun kidul dan berhasil. Sayangnya ternyata mitos itu salah total, buktinya permintaan saya tidak terkabul. Waktu itu saya mohon agar tubuh saya bertambah tinggi hingga 165 cm sehingga lolos masuk seleksi reporter Metro TV, namun nyatanya sampai sekarang tinggi saya tak lebih banyak dari 5 kaki. Jogja kali ini juga memperlihatkan pada saya view-nya dari dataran tinggi serta pemandangan puncak Merapi sekali lagi, tapi bukan dari Kalikuning, melainkan dari Ketep Pass. Pun, Kaliurang mempertontonkan keindahannya sekali lagi, meski saya tidak berhasil menemukan tujuan wisata utamanya: air terjun. Dan Jogja memang menarik.

Jogja tahun 2008
Belum kesana lagi. Semoga saya bisa Jogja kembali. Dan saya akan napak tilas semua perjalanan yang pernah terlewati. Tak lupa menyiapkan permohonan yang lebih realistis (hehehe). Juga dompet yang penuh untuk membeli gelang (yang mungkin saja saya jual lagi kalau sedang bokek :p). Karena Jogja lebih dari sekedar menarik.

Pak Tua

Tongkat hitam besi menuntut langkahnya yang sedikit gontai. Salah satu kakinya kurang berfungsi mungkin sehingga membutuhkan tongkat itu untuk membantunya berjalan tegak. Lelaki paruh baya itupun berhenti di depan saya. Saya mengelengkan kepala sebab memang tidak ada uang kecil yang bisa saya masukkan ke dalam gelas bekas air mineral dalam genggamannya. Begitu pula dengan seorang ibu di depan saya.

Tak lebih dari satu meter meninggalkan tempat saya duduk, suara anak kecil memanggilnya. Membawa selembar dua puluh ribuan di tangan kanannya, seorang lelaki kecil berlari mendekat pada pak tua. Kulitnya hitam. Badannya kecil. Umurnya mungkin baru belasan tahun. Pakaiannya cukup bersih dengan sepasang sepatu hitam putih sebagai alasnya. “Tukar uang, Pak,” katanya.

Menahan rasa terkejut sekaligus keinginan untuk tertawa, saya mengamati kedua orang yang memiliki wilayah kerja yang sama tersebut. Setelah menerima selembar uang dari si bocah, dengan santainya si bapak meletakkan tongkat yang membantunya berjalan, dan berdiri tegak dengan kedua kakinya. Tidak tampak ada keganjilan dalam kaki kirinya. Kaki yang setahu saya memerlukan tongkat besi hitam untuk menjaganya tetap tegak. Sementara kedua tangannya kini sibuk mencari pecahan uang kecil untuk si bocah di dalam kantung pada ikat pingganggnya. Usai transaksi, bapak tua meraih tongkat hitamnya dan kembali berjalan seperti saat dia mendekati saya tadi.

Jaman sekarang. Orang semakin kreatif saja mencari cara mendapatkan uang. Maklum uang menjadi segalanya saat ini. Saat semua hal sekalipun dalam hidup membutuhkan uang.Lihat saja. Kalau dulu setiap kali naik kendaraan umum kita hanya akan menemui penjual buah, air mineral, serta buku-buku primbon, kini variasinya semakin bertambah. Apalagi dalam kereta ekonomi seperti yang saya tumpangi. Mulai dari penjual makanan dan minuman “konvensional” hingga yang siap saji, seperti mie instan cup dan kopi instan. Hanya bermodal satu termos berisi air panas dan puluhan makanan dan minuman instan dalam sachet, untung pun diraih. Voucher isi ulang “berjalan” pun ada. Sehingga penumpang tak perlu khawatir jika kehabisan pulsa telepon seluler. Ada pula jasa cleaning service yang akan membersihkan lantai sepanjang gerbong. Tak gratis tentunya. Bayarannya, cukup memasukkan uang kecil seikhlasnya di kantung atau gelas bekas yang telah tersedia. Rejeki memang selalu datang dari cara-cara ya tidak pernah diketahui sebelumnya.

Sandainya saja pak tua memanfaatkan tubuhnya yang masih kekar, mungkin ia akan mendapatkan sesuatu “lebih” tanpa perlu membohongi dirinya sendiri.