Tuesday, May 27, 2008

Jogja...Jogja.. (Part Two)


"Pokoke yo, idealnya, memulai kehidupan baru iku yo di tempat yang baru,"

"Halah gayamu..jeng..jeng,"

"Leh yo ngono, soale kan dengan berada di lingkungan baru kita bisa membentuk diri kita yang baru. Jadi yang dinilai orang iku siapa yang mereka lihat, bukan siapa kita sebelumnya, ngono loh mudeng ra?"

"Lha emange awakmu arep memulai kehidupan baru neng endi toh?"

"Yo selain Suroboyo lah pokoke. Karo Magetan, secara 18 tahun urip neng Magetan getooo. Yo Bandung kek, utowo Malang, utowo Yogjo. Pokoke pengenku sih kota besar yang tidak lebih besar dari Surabaya ngono, mereka membutuhkan sentuhanku disana. Hahahaha"

xxx

"Mau hijrah ke Jogja, Pak,"

"Lho mau ngapain ke Jogja? Emang kamu mau S2?"

"Eeeeeemmm.. keliatannya sih gitu, Pak"

"Trus kapan kamu mau berangkat?"

"Rencananya sih minggu depan, tanggal 18. Tapi mau ke Semarang dulu. Ada acara di sana,"

"Trus mulai off kapan?"

"Ya tanggal 18 itu, Pak. Nanti itu jadi hari terakhir saya. Jadi liputan tentang Wedding Organizer itu saya selesaikan dulu trus malamnya saya langsung berangkat ke Semarang, Pak,"

"Trus ke Jogjanya?"

"Ya mungkin setelah tiga hari di Semarang,"

"Ya sudah, jangan lupa bikin surat ke Mbak Diah, biar kamu dapat pesangon,"

"Terimakasih, Pak"

xxx

It seems like my words come true. Di kota inilah saya sekarang berada

Sunday, May 11, 2008

Pertarungan

Saya adalah pemenang
Ya, saya selalu menjadi pemenang
Dalam setiap pertarungan saya tak pernah kalah
Selalu jadi pemenang
Tanpa perlu berkeringat
Apalagi berdarah-darah

Tapi itu dulu

Hingga akhirnya saya mengerti anyir bau darah
Paham asinnya keringat
Hapal kata orang "kalah dulu kalau mau menang"
Atau dongeng tentang si pecundang yang berjuang bangkit dari kekalahan
Lalu akhirnya menang

Tapi tolong ingatkan saya
Bagaimana rasanya menjadi pemenang

Tuesday, May 6, 2008

Fela dan Dewi Persik


Kakak sepupu saya sedang gundah. Fela, anak gadisnya yang masih berusia 3 tahun sudah tak betah berada di rumah. Memang, setahun belakangan gadis kecil ini terus merengek minta sekolah kepada mamanya. “Aku tuh bosen loh ma kalo di rumah terus,” begitu rayunya.

Untuk anak seusianya, Fela tergolong cerdas. Sudah berapa puluh lagu yang ia hafal. Meski dia tak pernah tahu apa maksud dari liriknya, sebab hampir semuanya lagu orang dewasa. Diajari Bahasa Inggris pun tak susah. Sebelas angka dalam Bahasa Inggris sudah dihafalnya walaupun diucapkan dengan gaya cadel. Mengaji pun ia bisa. “Sudah sampe ka, ik!” katanya pada saya.

Bulan Juli tahun ini ia akan masuk sekolah. Belum TK, masih Playgroup. Kakak saya ingin agar anaknya beradaptasi dengan teman sebayanya terlebih dulu sebelum ia benar-benar merasakan sekolah.

Begitu banyak pilihan yang datang pada kakak sepupu saya. Maklum, perkembangan lembaga pendidikan berjalan cukup pesat di kota kecil seperti Magetan. Namun keinginan kakak saya tak pernah jauh dari satu hal: anaknya harus masuk sekolah Islam.

Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Selain pengetahuan ke-Islaman kedua orang tua yang pas-pasan, kakak saya ingin memastikan bahwa anaknya berada di tangan orang-orang yang dipercaya mampu memberikan ilmu agama, bahkan melebihi apa yang ia tahu. Apalagi, kedua orang tua Fela adalah orang sibuk. Mamanya, kakak sepupu saya, adalah sekretaris pribadi Bupati Magetan yang sedang menjabat saat ini. Sementara ayahnya adalah seorang mantri (begitu mereka mengistilahkan) Bank milik pemerintah. Kondisi pekerjaan mengharuskan mereka berangkat pagi dan pulang sore setiap harinya. Sementara saat mereka tak di rumah, Fela diurus oleh pembantu dengan pendidikan terakhir tamatan SMP.

Kesibukan kedua orang tua memang tak dapat menjadi pembenaran bahwa pendidikan anak menjadi urusan orang lain. Namun terkadang jika kondisi memaksa, penting untuk mencari orang-orang di luar keluarga dengan bekal pendidikan memadai sebagai supplier ilmu, selain yang diberikan oleh keluarga. Dan karena itulah kakak saya memilih memasukkan anaknya di salah satu sekolah Islam di kota saya. Bukan hanya agar Fela memiliki ilmu agama yang cukup, jauh melebihi itu, ia ingin agar Fela memiliki akhlakul karimah, akhlak yang mulia. Dan saya salah satu orang yang sangat mendukung keinginan kakak saya. Sebab sedikit banyak saya termasuk golongan penganut teori tabula rasa, meski yakin bahwa tetap ada campur tangan Tuhan di sana.



Kakak saya mungkin salah satu diantara sekian banyak orang yang percaya bahwa akhlak adalah dasar dari segala sesuatu. Akhlak bisa dibentuk dari kondisi lingkungan, termasuk budaya dan agama. Meski keberadaanya tak dapat diukur, namun saya yakin, semua orang memiliki standar yang sama tentang mana yang baik dan mana yang bukan. Semua orang dari suku apapun dan dari agama manapun.

Maka saya heran kepada media massa dan sekian banyak orang yang masih mempertanyakan mengapa para pimpinan daerah itu mencekal goyangan erotis Dewi Persik. Dengan dalih, masih banyak masalah besar yang harus mereka selesaikan seperti kemiskinan serta korupsi yang makin merajalela, tapi justru itu adalah hiburan bagi masyarakat kecil.

Oya?

Benar, goyangan para artis dangdut tersebut tidak akan menimbulkan kemiskinan. Juga bukan tindakan kriminal seperti korupsi. Namun tidakkah mereka sadar, bahwa goyangan yang tersaji di depan umum itu adalah layaknya virus yang langsung menyerang akhlak para penontonnya. Dan tidakkah mereka sadar, bahwa tindakan korupsi yang menjadi pemicu meningkatnya tingkat kemiskinan di Indonesia adalah karena para pemimpin itu tak memiliki akhlak mulia.

Maka bayangkan bagaimana Indonesia ketika akhlak manusia-manusianya telah terkena virus.