Friday, March 20, 2009

7 Unimportant Things I Want Most

1. Mencoba berbagai extreme games.
Bohong banget kalau saya bilang I’m freak of extreme games. Sebab belum banyak permainan ekstrim yang pernah saya coba. Jadi masih terlalu dini untuk mengatakan saya pecinta permainan gila. Coba saya sebut satu persatu sejauh ingatan: rafting, flying fox, Tornado di Dufan (saya mencoba semua permainan di Dufan dan ini satu-satunya yang bikin saya berteriak), walking on the rope (ah saya lupa sebenarnya namanya apa. Yang jelas saya berjalan diatas seutas tali untuk menyeberangi tebing dan ketika saya sampai di tengah, tali itu dibalik. Whoaaa.. what an interesting game ever!), kora-kora manual dengan pengaman manual di pasar malem sekaten, turun tebing. Selebihnya saya lupa. Levelnya memang masih rendah. Tapi saya sangat bersemangat menjajal permainan adrenalin macam ini. Mengukur seberapa jauh saya bisa mengalahkan rasa takut, kecuali bertatap muka dengan hantu dan film hantu.



2. Berhenti ngomongin orang
Sebuah ancaman mendarat dari seorang teman yang ingin menjadi partner hidup saya kelak.
“Tar kalo nikah, awas aja kalo kamu ngomongin keburukan orang lain,”.
Tidak jelas memang apa ancaman sesungguhnya. Tapi saya mengangguk saja, tanda setuju. Toh saya sendiri telah merasakan betapa tidak enaknya membuka aib orang lain. Beberapa waktu terakhir, aib si A atau si B atau si C sering mampir di telinga saya. Padahal si A,B,C itu notabene adalah teman-teman saya sendiri. Yang tiap hari ketemu. Tiap hari bercanda. Tiap hari duduk bersama. Saya sering berusaha netral. Tak mengompor-kompori, juga tak terlalu membela orang yang menjadi sasaran pembicaraan. Tapi tak jarang pula usaha saya itu gagal. Akibatnya sedikit demi sedikit saya mulai membicarakan aib orang. Padahal hati ini capek juga akhirnya. Sama sekali tidak ada untungnya. Malah bikin dosa makin numpuk saja. Sumpah, saya ingin berhenti!

3. Olahraga
Keinginan sudah ada. Niat juga sudah dilafalkan dari dulu. Tapi kemauan yang sulit diajak kompromi. Selalu ada saja alasan untuk menunda keinginan saya satu ini. Biar saya sebut satu per satu: tidak bisa bangun pagi untuk jogging, tidak punya baju olahraga yang oke, tidak ada temannya, pulang kerja sudah sore jadi capek kalau mau ikut senam sore, di tempat fitness yang ada cowo semua, kolam renang khusus wanita jauh lokasinya, belum sempet beli shuttlecock meski raket sudah disediakan sama anaknya ibu kos, de el el. Banyak banget kan? Ah, besok pagi lah, saya mulai berolahraga!

4. Kursus menjahit
Biar mereka mengatakan saya tomboy, namun saya memiliki jiwa keibuan yang sangat tinggi. Buktinya saya ingin sekali mengeksekusi keinginan saya ini dalam waktu dekat. Tujuannya pun sungguh mulia: biar bisa mengirit pengeluaran beli baju. Khususnya baju anak saya kelak. Jaman sekarang ini, pakaian anak jauh lebih mahal dibading pakaian orang dewasa. Selain itu, kalau saya bisa menjahit, setidaknya masih bisa berguna hingga hari tua kelak. See… ? Cita-cita saya sungguh mulia. *sigh*

5. Menikmati sunrise dari puncak gunung
Belum pernah sekalipun saya merasakannya. Suatu ketika Kurus pernah mengajak saya camping “suatu saat nanti”. Sayangnya, sepertinya ‘suatu saat’ yang dikatakan kurus tak kunjung datang. Makanya saya belum berangkat sampai sekarang. Sebenarnya rada keder juga. Membayangkan hal-hal gaib yang mungkin terjadi di puncak gunung sana. Konon kabarnya, jin itu punya dua tempat tinggal di dunia ini, yakni lautan dan gunung. Kabar itu diperjelas lagi oleh sutradara film-film horror yang seringkali mengambil setting di hutan pegunungan. Tapi membayangkan betapa cantiknya matahari pagi dari atas sana, rasa takut saya harus dipendam lebih dulu. Bukankah obat rasa takut itu adalah berhadapan dengan rasa takut itu sendiri?

6. Makan kepiting bumbu asam pedas.
Jangan tertawa kalau saya bilang: seumur hidup saya baru makan kepiting satu kali. Bulan Juli tahun lalu, di Pantai Depok. Saat rapat persiapan Ramadhan 1429H bersama rekan-rekan kantor. Sensasi pertama: ternyata daging kepiting benar benar benar lezat. Meski harus belepotan untuk memakannya. Saya menyesal dulu tak mengambil jatah banyak. Masih malu-malu. Sekarang mau makan lagi musti pikir-pikir. Di kota harus merogoh kantong minimal 23 ribu untuk satu porsi kepiting. Aih, itu kan jatah makan anak kos (baca: saya) sehari?

7. Jadi ibu rumah tangga yang berpenghasilan
Sounds classic. Tapi, I hate to spend my time just for working. Untungnya saya kerja di NGO yang menghimpun zakat dari para aghniya untuk kesejahteraan kaum dhuafa. Setidaknya saya tidak membanting tulang untuk memperbesar perut para penguasa. Seandainya saya harus berhenti dari pekerjaan sekarang ini pun, mungkin saya akan mencari pekerjaan lain yang masih ada hubungannya dengan kemanusiaan. Hitung-hitung ngumpulin tiket tembusan ke salah satu pintu sorga. Tapi kalau dipikir ulang, waktu yang saya habiskan untuk bekerja jauh lebih besar dibanding waktu untuk keluarga. Jika saya sudah berkeluarga nantinya. Delapan jam di kantor, delapan jam berikutnya untuk istirahat, dan delapan jam lain untuk keluarga. Padahal delapan yang terakhir masih terbagi untuk memasak, membersihkan rumah, belanja, de el el. Sementara saya punya kewajiban mengajari anak mengaji, mendidik mereka untuk shalat lima waktu, so what do I live for? Kalau bukan untuk itu? (:p kaya saya telaten aja...!)

Jadi mulai sekarang saya harus memikirkan nasib keluarga saya kelak tanpa meninggalkan potensi saya untuk menghasilkan uang. Menjadi penulis mungkin. Wow.. I do really want to be a professional writer. Seperti Helvy Tiana Rosa. Beramal melalui kata-kata. Bayangkan betapa mulianya profesi ini. Hanya dengan menulis, bisa mengubah sebuah peradaban. Menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk tetap berpegang teguh di jalan Allah. Tak akan terhitung koin amal mengucur di buku tabungan Bank Rokib yang selalu mendampingi tangan kanan kita ini. Dengan satu syarat tentunya: semuanya dalam rangka menyeru ke jalan Allah. Ya.. I’ll be there.

Monday, March 16, 2009

Ukuran memang Penting?


I was an I-don’t-care-what-size-are-you person. Yup, saya tidak pernah peduli seberapa besar badan saya. Bahkan saya dengan bangga menunjukkan pola makan yang naudzubillah pada dunia. Santai saja, memang begini adanya. Hingga…

Sabtu kemarin, seorang teman SMA sekaligus kos jaman kuliah dulu minta diantar belanja di Malioboro. Sepulang dari studi banding di Magelang bersama rombongan tim PNPM Magetan ia meminta saya memilihkan batik untuk kerja. Itu niat awalnya.

Niat hunting batik yang elegan di Mirota Batik luntur ketika kami melihat tulisan discount terpampang di Matahari Malioboro Mall. Meri yang sedang mengantongi banyak duit pesangon dari pemerintah langung saja menyerbu rak-rak bertumpuk pakaian wanita. Satu celana bahan dan kemeja kerja lengan pendek sudah berada dalam tas belanja. Satu demi satu rak pakaian kami singkap demi mendapatkan baju terindah dengan harga termurah. Sesuai prinsip ekonomi. Lalu sampailah kaki kami pada keranjang celana jeans merk Dual yang diobral dengan harga 69 hingga 79 ribu.

Dua celana jeans model pinsil warna biru belel ukuran M saya jinjing menuju ruang ganti. Sementara Meri membawa dua celana hitam dengan model dan ukuran berbeda. Satu model pinsil dengan ukuran S, lainnya model cutbray ukuran M.

“Satu kamar aja, Jeng. Biar bisa gantian nyobanya!” pinta Meri

Maka di ruang itulah saya baru menyadari, ternyata tubuh saya telah menggelembung sedemikian rupa. Meri dulunya adalah cewe oversize. Semua pakaian dia masuk di badan saya, tapi tidak sebaliknya. Tapi kali ini celana cutbray hitam ukuran M yang melekat pas di badan Meri, tak muat untuk saya. Ini mengindikasikan bahwa dunia telah berbalik.

“Wah, Jeng, ga nyangka sekarang kok aku bisa pake S ya?” entah menghina atau heran dengan tubuhnya sendiri, Meri berkata.

Tiga jam setelahnya, saya pulang dengan pertanyaan : emang badanku segitu gendutnya ya?

Sejak tinggal di Jogja angka timbangan saya memang naik. Sekitar 5 kilogram dalam kurun waktu 10 bulan. Sejauh ini saya tak pernah merasa risi. Bahkan mungkin saja sebenarnya pertambahan berat badan itu pertanda hati kita selalu bahagia. Saya juga cuek saja ketika orang-orang mulai berkomentar.

Si Kurus awalnya. Orang ini memang perhatian betul.

“Ya ampun, badan kok kayak gajah,” katanya dengan sangat sangat sangat dan sangat hiperbolis.

“Ah itu kan gara-gara kamu kurus aja, trus iri, makanya ngatain orang lain gendut,” saya menyangkal.

Lalu teman-teman kos saya.

“Mbak Ajeng gendutan ya. Tuh perutnya mulai buncit,”.

“Biarin lah, ini kan one pek,”.

Kemudian teman-teman kos saya di Surabaya dulu.

“Mbak Ajeng… pipinya tambah tembem aja,”.

“Ya kan tambah imut,” saya masih saja menyanggah

Ibu saya tak mau ketinggalan ikut berkomentar.

“Jeng, badannya kurusin dikit lah. Tar kalo mau nikah badanya gemuk gitu kan jelek,”.

“Loh justru kalo badannya agak gendut malah bagus buk, baju pengantinnya bisa pas badan, gak kelonggaran,” saya tetap mempertahankan diri.

Walaupun terkadang komentar-komentar mereka sedikit mengusik, tapi saya masih berpikir bahwa bagaimanapun my body is wonderland. Rasanya ingin protes juga sih. Emang kenapa kalo pipi saya chubby? Emang salah ya kalau lingkar perut semakin gede? Trus, kalau mau nikah, emang harus kurus dulu?

Meski terpukul juga sih sebenarnya, menyadari fakta bahwa ukuran M tak lagi muat, sungguh menyakitkan. Tapi ini kan badan saya! Diapa-apain kalau dari sananya dikasih pipi tembem ya terima aja. Dimana-mana juga, kalau berat badan naik lingkar perut ya bertambah. Hukum alam namanya. Diet? Tar ah kalau udah hampir mau nikah aja. Memang ukuran penting banget ya?