tag:blogger.com,1999:blog-86108576371443848992024-02-18T20:56:19.272-08:00duniaku...sepenggal kisah kehidupan seorang manusia biasa...
yang mencoba memaknai hidupnya yang biasa... dengan cara yang luar biasaajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.comBlogger35125truetag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-20582100140963696132011-12-18T23:41:00.000-08:002011-12-18T23:42:43.461-08:00Menikahlah, kawan!Entah kenapa tiba-tiba saya tergerak untuk menulis tentang ini.<br /><br />Ketahuilah kawan, laki-laki itu, tanpa bermaksud menggenalisir, sebelum mereka terikat oleh ikatan yang sah, tidak akan pernah setia. Kenapa? Karena mereka sedang memilah dan memilih, mana yang nantinya akan baik untuk menjadi pendamping. <br /><br />Saya adalah orang beruntung yang dahulu kala sering menjadi tempat curhat teman-teman lelaki. Katanya sudah terikat janji dengan si ana yang secara fisik cantik, tapi di sisi lain masi minta dikenalin sama si anu yang secara fisik lebih cantik. Maka, sedikit banyak saya bisa menganalisis tindak tanduk para kaum adam ini.<br /><br />Biasanya laki-laki yang seperti saya sebutkan di atas punya banyak kelebihan. Banyak dari mereka yang sebenarnya tidak ganteng, bahkan sama sekali tidak ganteng. Tapi mereka cukup pandai berkomunikasi. Mereka sangaaaat nyambung diajak ngomong apapun. Apapun!<br /><br />Nah biasanya pula, para perempuan lebih suka didekati oleh para lelaki yang enak diajak ngobrol apapun, daripada ganteng tapi agak telmi. Maka kloplah keduanya saling bertemu.<br /><br />Maka, bagi kawan-kawanku, perempuan-perempuan nan mulia, menikahlah! Menikahlah dengan lelaki yang mendekatimu bukan HANYA karena kalian tampil menarik. Bukan pula HANYA karena saling cocok dalam obrolan. Atau malah HANYA karena memiliki weton yang membawa keberuntungan!<br /><br />Tapi diantara para lelaki yang mendekatimu, pilihlah mereka yang meminangmu karena ingin menyelamatkanmu dan mengangkat martabatnya. Yang memilihmu karena ingin menyelamatkan agamamu dan agamanya. Yang mengajakmu bersama berjuang melahirkan generasi-generasi tangguh.<br /><br />Dan, bagi kalian para lelaki yang sedang mencari cinta. Berlomba-lombalah untuk mematutkan diri mendapatkan para bidadari yang bersiap untuk kau ajak berperang menuju syahid dalam perahu rumah tangga!ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-63454292114376135782011-12-14T18:14:00.000-08:002011-12-14T18:16:08.966-08:00The Garing JokeAda seorang bule yang minta seorang pribumi untuk diajak makan makanan khas Indonesia. Lalu si pribumi mengajaknya untuk makan es kelapa muda.<br /><br />Bule: ini makanan apa?<br />Pribumi: ini namanya kelapa muda mister<br />Bule: wah yang muda saja enak. Apalagi yang tua.<br /><br />Lalu si pribumi mengajaknya lagi ke warung tegal yang menjual sayur lodeh nangka.<br /><br />Bule: ini makanan namanya apa?<br />Pribumi: ini namanya sayur nangka mister. Enak mister?<br />Bule: wah wah.. ini makanan yang muda saja enak, apalagi yang tua.<br /><br />Lalu si bule minta nambah sayur lodeh rebung yang juga tersaji di meja.<br /><br />Bule: kalo ini namanya apa?<br />Pribumi: itu namanya sayur rebung.<br />Bule: apa itu rebung?<br />Pribumi: rebung itu bambu muda mister.<br />Bule: bamboo muda? Waaah yang muda saja enak. Apalagi yang tua<br />Pribumi: ………………..<br /><br />Garing ya? <br /><br />Biarin.<br /><br />Biar garing, saya selalu terbahak mendengar guyonan yang sering sekali diceritakan Bapak ini. Akan saya adopsi, lalu saya ceritakan ke Yasmin, mbesuk kalo dia sudah paham candaan. Akan saya ceritakan beruuulang-ulang, biar dia ingat pernah diceritai joke yang teramat garing oleh emaknya. Hingga dewasa. Jadi dia juga punya cerita tentang emaknya yang garing ini.ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-7601158859658842242010-01-15T21:26:00.000-08:002010-01-15T21:27:22.451-08:00Tahun ke 25<span style="font-style:italic;">Today is an ordinary day</span>. Tidak ada yang spesial tentang hari ini. Kecuali angka yang bertambah satu jika saya mengisi formulir pada kolom umur, inbox yang mulai penuh sejak pagi padahal biasanya ngga laku, dua mini cake dari teman kantor, dan wall facebook yang penuh ucapan selamat, semuanya berjalan seperti biasa. Bangun jam 3 pagi, karena malamnya ketiduran sementara belum shalat isya’. Bagun lagi jam 4.30 untuk shalat shubuh. Sedikit bermalas-malasan di tempat tidur karena ini hari sabtu sehingga tidak diburu Andik untuk berangkat lebih awal ke kantor. Lalu, ngantor dengan diantar Andik naik sepeda motor, dan mampir ke Burjo untuk sarapan. <br /><br />Empat atau lima tahun lalu biasanya saya sangat menanti saat-saat seperti ini. Menghitung setiap sms yang masuk. Juga berharap-harap akan mendapatkan kado apa dari siapa. Bagi saya yang saat itu masih belasan, hal-hal seperti itu membuktikan eksistensi saya di mata teman-teman. Semakin banyak yang memberi selamat, semakin eksis pula diri saya. Semakin banyak yang memberi kado, tandanya semakin banyak yang mencintai saya. <br /><br />Dua tahun lalu suasananya sudah berbeda. 16 Januari 2008 adalah ulang tahun pertama saya setelah lulus kuliah. Waktu itu saya sedang tinggal di Pare untuk mengikuti kursus Bahasa Inggris sambil mengisi waktu kosong yang saya miliki setelah keluar dari pekerjaan di salah satu harian di Surabaya. Tak satupun dari 24 orang teman satu kos yang tahu bahwa hari itu saya sedang bahagia. Bahkan Andik yang saat itu sedang melakukan proses pe de ka te pun tidak. Dia baru mengucapkan sehari setelahnya, karena yang ia ingat ulang tahun saya tanggal 17 januari. Hanya teman-teman lama yang mulai mengucapkan selamat via sms.<br /><br />Tepat setahun yang lalu, detik-detik pergantian usia saya warnai dengan pertengkaran kecil dengan Andik. Saya tak ingat persis apa penyebabnya. Meski demikian, akhirnya Andik menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya sebab ia melakukannya tanggal 15 januari pukul 22.30 di depan pintu kos saat mengantarkan saya pulang. Esoknya, tak ada lagi ucapan selamat darinya.<br /><br />Hari ini, saya tidak lagi berharap-harap banyak yang memberi selamat. Tak lagi menghitung berapa sms yang masuk. Juga berharap Andik berubah jadi super romantis. Meskipun saya tahu dia sempat berusaha untuk melakukannya dengan menanyakan kado apa yang saya inginkan. Usia yang mulai masuk angka krisis, 25 tahun, akan saya lalui cukup dengan rasa syukur yang tak habis-habisnya. Karena hadiah luar biasa sudah saya dapatkan selama 24 tahun usia saya.<br /><br />Betapa Allah memberikan kenikmatan yang tak terhitung selama setahun terakhir, dan tahun-tahun sebelumnya tentunya. Seorang suami penyejuk hati yang dikirimkan dari Tawanganom untuk berada di sisi saya sejak mata terbuka hingga terpejam lagi. Pekerjaan yang lancar tanpa hambatan. Mimpi yang meski tertunda tapi masih melekat dalam hati saya. Dan yang terpenting, sebuah kado istimewa yang tumbuh dalam perut saya. Bahkan sebelum saya sempat meminta. Tak mungkin terjadi tanpa seijin-Nya.<br /><br /><br />Yogyakarta, 16 Januari 1985 11.30<br />Thank you Allah for my wonderful lifeajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-21047528557054980362009-04-24T19:35:00.000-07:002009-04-29T01:27:54.237-07:00JenuhSayang, <br />Tahukah kau, aku rindu<br />semua yang kulalui di masa lalu<br />saat tak terbebani dengan deadline kawin karena usia yang menua<br />(hey bukannya baru 24?)<br />tak harus bertanggung jawab terhadap gaji tiap tanggal dua lima<br />tak merasa sepi karena tak ada siapapun di sini<br /><br />Sayang,<br />aku rindu masa lalu ku<br />seandainya waktu bisa ku atur<br />semauku<br />maka aku akan berhenti di tiga tahun yang lalu<br /><br />Teman-temanku sayang,<br />Tahukan kau, tak enak hidup di kota asing sendiri<br />dan kau hanya mendapati kau tak bisa mengendalikan semua<br />seperti persis yang kau inginkan <br />sehingga semua terasa nyaman, bagimu<br /><br />Maka rebutlah waktu, kawan<br />meski ada satu titik dimana kita harus pasrah dengan keadaan<br />tak berarti menyerah, bukan?<br /><br />(dedicate to my housemate in Surabaya, if you know how much I long for you...)ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-38676310149367413112009-03-20T00:12:00.000-07:002009-03-20T00:45:50.574-07:007 Unimportant Things I Want Most1. Mencoba berbagai extreme games.<br />Bohong banget kalau saya bilang I’m freak of extreme games. Sebab belum banyak permainan ekstrim yang pernah saya coba. Jadi masih terlalu dini untuk mengatakan saya pecinta permainan gila. Coba saya sebut satu persatu sejauh ingatan: rafting, flying fox, Tornado di Dufan (saya mencoba semua permainan di Dufan dan ini satu-satunya yang bikin saya berteriak), walking on the rope (ah saya lupa sebenarnya namanya apa. Yang jelas saya berjalan diatas seutas tali untuk menyeberangi tebing dan ketika saya sampai di tengah, tali itu dibalik. Whoaaa.. what an interesting game ever!), kora-kora manual dengan pengaman manual di pasar malem sekaten, turun tebing. Selebihnya saya lupa. Levelnya memang masih rendah. Tapi saya sangat bersemangat menjajal permainan adrenalin macam ini. Mengukur seberapa jauh saya bisa mengalahkan rasa takut, kecuali bertatap muka dengan hantu dan film hantu.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw-sjoYIOvBIiaque42YnnkjMFGmpeL3Flivp9mvmab2SxJm11QpLG9TE-sCvbzvACVgwxRtMt2Vq65zUWnXscOsFC7N5pGwpDZbixbVHlALabkHHLh2Gtje-2UcT4rfbzjPvS1DbNZCA/s1600-h/DSC00025.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw-sjoYIOvBIiaque42YnnkjMFGmpeL3Flivp9mvmab2SxJm11QpLG9TE-sCvbzvACVgwxRtMt2Vq65zUWnXscOsFC7N5pGwpDZbixbVHlALabkHHLh2Gtje-2UcT4rfbzjPvS1DbNZCA/s320/DSC00025.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5315172519735342706" /></a><br /><br />2. Berhenti ngomongin orang<br />Sebuah ancaman mendarat dari seorang teman yang ingin menjadi partner hidup saya kelak.<br />“Tar kalo nikah, awas aja kalo kamu ngomongin keburukan orang lain,”.<br />Tidak jelas memang apa ancaman sesungguhnya. Tapi saya mengangguk saja, tanda setuju. Toh saya sendiri telah merasakan betapa tidak enaknya membuka aib orang lain. Beberapa waktu terakhir, aib si A atau si B atau si C sering mampir di telinga saya. Padahal si A,B,C itu notabene adalah teman-teman saya sendiri. Yang tiap hari ketemu. Tiap hari bercanda. Tiap hari duduk bersama. Saya sering berusaha netral. Tak mengompor-kompori, juga tak terlalu membela orang yang menjadi sasaran pembicaraan. Tapi tak jarang pula usaha saya itu gagal. Akibatnya sedikit demi sedikit saya mulai membicarakan aib orang. Padahal hati ini capek juga akhirnya. Sama sekali tidak ada untungnya. Malah bikin dosa makin numpuk saja. Sumpah, saya ingin berhenti!<br /><br />3. Olahraga<br />Keinginan sudah ada. Niat juga sudah dilafalkan dari dulu. Tapi kemauan yang sulit diajak kompromi. Selalu ada saja alasan untuk menunda keinginan saya satu ini. Biar saya sebut satu per satu: tidak bisa bangun pagi untuk jogging, tidak punya baju olahraga yang oke, tidak ada temannya, pulang kerja sudah sore jadi capek kalau mau ikut senam sore, di tempat fitness yang ada cowo semua, kolam renang khusus wanita jauh lokasinya, belum sempet beli shuttlecock meski raket sudah disediakan sama anaknya ibu kos, de el el. Banyak banget kan? Ah, besok pagi lah, saya mulai berolahraga!<br /><br />4. Kursus menjahit<br />Biar mereka mengatakan saya tomboy, namun saya memiliki jiwa keibuan yang sangat tinggi. Buktinya saya ingin sekali mengeksekusi keinginan saya ini dalam waktu dekat. Tujuannya pun sungguh mulia: biar bisa mengirit pengeluaran beli baju. Khususnya baju anak saya kelak. Jaman sekarang ini, pakaian anak jauh lebih mahal dibading pakaian orang dewasa. Selain itu, kalau saya bisa menjahit, setidaknya masih bisa berguna hingga hari tua kelak. See… ? Cita-cita saya sungguh mulia. *sigh*<br /><br />5. Menikmati sunrise dari puncak gunung<br />Belum pernah sekalipun saya merasakannya. Suatu ketika Kurus pernah mengajak saya camping “suatu saat nanti”. Sayangnya, sepertinya ‘suatu saat’ yang dikatakan kurus tak kunjung datang. Makanya saya belum berangkat sampai sekarang. Sebenarnya rada keder juga. Membayangkan hal-hal gaib yang mungkin terjadi di puncak gunung sana. Konon kabarnya, jin itu punya dua tempat tinggal di dunia ini, yakni lautan dan gunung. Kabar itu diperjelas lagi oleh sutradara film-film horror yang seringkali mengambil setting di hutan pegunungan. Tapi membayangkan betapa cantiknya matahari pagi dari atas sana, rasa takut saya harus dipendam lebih dulu. Bukankah obat rasa takut itu adalah berhadapan dengan rasa takut itu sendiri? <br /><br />6. Makan kepiting bumbu asam pedas.<br />Jangan tertawa kalau saya bilang: seumur hidup saya baru makan kepiting satu kali. Bulan Juli tahun lalu, di Pantai Depok. Saat rapat persiapan Ramadhan 1429H bersama rekan-rekan kantor. Sensasi pertama: ternyata daging kepiting benar benar benar lezat. Meski harus belepotan untuk memakannya. Saya menyesal dulu tak mengambil jatah banyak. Masih malu-malu. Sekarang mau makan lagi musti pikir-pikir. Di kota harus merogoh kantong minimal 23 ribu untuk satu porsi kepiting. Aih, itu kan jatah makan anak kos (baca: saya) sehari? <br /><br />7. Jadi ibu rumah tangga yang berpenghasilan<br />Sounds classic. Tapi, I hate to spend my time just for working. Untungnya saya kerja di NGO yang menghimpun zakat dari para aghniya untuk kesejahteraan kaum dhuafa. Setidaknya saya tidak membanting tulang untuk memperbesar perut para penguasa. Seandainya saya harus berhenti dari pekerjaan sekarang ini pun, mungkin saya akan mencari pekerjaan lain yang masih ada hubungannya dengan kemanusiaan. Hitung-hitung ngumpulin tiket tembusan ke salah satu pintu sorga. Tapi kalau dipikir ulang, waktu yang saya habiskan untuk bekerja jauh lebih besar dibanding waktu untuk keluarga. Jika saya sudah berkeluarga nantinya. Delapan jam di kantor, delapan jam berikutnya untuk istirahat, dan delapan jam lain untuk keluarga. Padahal delapan yang terakhir masih terbagi untuk memasak, membersihkan rumah, belanja, de el el. Sementara saya punya kewajiban mengajari anak mengaji, mendidik mereka untuk shalat lima waktu, so what do I live for? Kalau bukan untuk itu? (:p kaya saya telaten aja...!)<br /><br />Jadi mulai sekarang saya harus memikirkan nasib keluarga saya kelak tanpa meninggalkan potensi saya untuk menghasilkan uang. Menjadi penulis mungkin. Wow.. I do really want to be a professional writer. Seperti Helvy Tiana Rosa. Beramal melalui kata-kata. Bayangkan betapa mulianya profesi ini. Hanya dengan menulis, bisa mengubah sebuah peradaban. Menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk tetap berpegang teguh di jalan Allah. Tak akan terhitung koin amal mengucur di buku tabungan Bank Rokib yang selalu mendampingi tangan kanan kita ini. Dengan satu syarat tentunya: semuanya dalam rangka menyeru ke jalan Allah. Ya.. I’ll be there.ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-73932247792419642472009-03-16T18:47:00.000-07:002009-03-20T00:52:34.584-07:00Ukuran memang Penting?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDyy9RBqV-yH_uTl1w9Vgefnvhlw4sUFecS2Ez9Mewm9cwm8AePKnahUrJtsJlk-Q1eqHJUzv1r3p7rMXECu2Tu-azTbidw1kdx2km5f6P7D8srSMRzYrkuTEIR-cVyUpqTBigPbkwdEs/s1600-h/aku+dan+mere.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 160px; height: 120px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDyy9RBqV-yH_uTl1w9Vgefnvhlw4sUFecS2Ez9Mewm9cwm8AePKnahUrJtsJlk-Q1eqHJUzv1r3p7rMXECu2Tu-azTbidw1kdx2km5f6P7D8srSMRzYrkuTEIR-cVyUpqTBigPbkwdEs/s320/aku+dan+mere.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5315174699795146066" /></a><br />I was an I-don’t-care-what-size-are-you person. Yup, saya tidak pernah peduli seberapa besar badan saya. Bahkan saya dengan bangga menunjukkan pola makan yang naudzubillah pada dunia. Santai saja, memang begini adanya. Hingga…<br /><br />Sabtu kemarin, seorang teman SMA sekaligus kos jaman kuliah dulu minta diantar belanja di Malioboro. Sepulang dari studi banding di Magelang bersama rombongan tim PNPM Magetan ia meminta saya memilihkan batik untuk kerja. Itu niat awalnya.<br /><br />Niat hunting batik yang elegan di Mirota Batik luntur ketika kami melihat tulisan discount terpampang di Matahari Malioboro Mall. Meri yang sedang mengantongi banyak duit pesangon dari pemerintah langung saja menyerbu rak-rak bertumpuk pakaian wanita. Satu celana bahan dan kemeja kerja lengan pendek sudah berada dalam tas belanja. Satu demi satu rak pakaian kami singkap demi mendapatkan baju terindah dengan harga termurah. Sesuai prinsip ekonomi. Lalu sampailah kaki kami pada keranjang celana jeans merk Dual yang diobral dengan harga 69 hingga 79 ribu.<br /> <br />Dua celana jeans model pinsil warna biru belel ukuran M saya jinjing menuju ruang ganti. Sementara Meri membawa dua celana hitam dengan model dan ukuran berbeda. Satu model pinsil dengan ukuran S, lainnya model cutbray ukuran M.<br /><br />“Satu kamar aja, Jeng. Biar bisa gantian nyobanya!” pinta Meri<br /><br />Maka di ruang itulah saya baru menyadari, ternyata tubuh saya telah menggelembung sedemikian rupa. Meri dulunya adalah cewe oversize. Semua pakaian dia masuk di badan saya, tapi tidak sebaliknya. Tapi kali ini celana cutbray hitam ukuran M yang melekat pas di badan Meri, tak muat untuk saya. Ini mengindikasikan bahwa dunia telah berbalik. <br /><br />“Wah, Jeng, ga nyangka sekarang kok aku bisa pake S ya?” entah menghina atau heran dengan tubuhnya sendiri, Meri berkata. <br /><br />Tiga jam setelahnya, saya pulang dengan pertanyaan : emang badanku segitu gendutnya ya?<br /><br />Sejak tinggal di Jogja angka timbangan saya memang naik. Sekitar 5 kilogram dalam kurun waktu 10 bulan. Sejauh ini saya tak pernah merasa risi. Bahkan mungkin saja sebenarnya pertambahan berat badan itu pertanda hati kita selalu bahagia. Saya juga cuek saja ketika orang-orang mulai berkomentar.<br /><br />Si Kurus awalnya. Orang ini memang perhatian betul.<br /><br />“Ya ampun, badan kok kayak gajah,” katanya dengan sangat sangat sangat dan sangat hiperbolis.<br /><br />“Ah itu kan gara-gara kamu kurus aja, trus iri, makanya ngatain orang lain gendut,” saya menyangkal.<br /><br />Lalu teman-teman kos saya.<br /><br />“Mbak Ajeng gendutan ya. Tuh perutnya mulai buncit,”.<br /><br />“Biarin lah, ini kan one pek,”.<br /> <br />Kemudian teman-teman kos saya di Surabaya dulu.<br /><br />“Mbak Ajeng… pipinya tambah tembem aja,”.<br /><br />“Ya kan tambah imut,” saya masih saja menyanggah<br /><br />Ibu saya tak mau ketinggalan ikut berkomentar.<br /><br />“Jeng, badannya kurusin dikit lah. Tar kalo mau nikah badanya gemuk gitu kan jelek,”.<br /><br />“Loh justru kalo badannya agak gendut malah bagus buk, baju pengantinnya bisa pas badan, gak kelonggaran,” saya tetap mempertahankan diri.<br /><br />Walaupun terkadang komentar-komentar mereka sedikit mengusik, tapi saya masih berpikir bahwa bagaimanapun my body is wonderland. Rasanya ingin protes juga sih. Emang kenapa kalo pipi saya chubby? Emang salah ya kalau lingkar perut semakin gede? Trus, kalau mau nikah, emang harus kurus dulu?<br /><br />Meski terpukul juga sih sebenarnya, menyadari fakta bahwa ukuran M tak lagi muat, sungguh menyakitkan. Tapi ini kan badan saya! Diapa-apain kalau dari sananya dikasih pipi tembem ya terima aja. Dimana-mana juga, kalau berat badan naik lingkar perut ya bertambah. Hukum alam namanya. Diet? Tar ah kalau udah hampir mau nikah aja. Memang ukuran penting banget ya?ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-36161912910012032062009-02-06T18:07:00.000-08:002009-02-06T18:26:48.855-08:00m u n a f i kSiapa bilang aku tangguh?<br />Aku hanya tak ingin saja, jika dunia menertawakanku.<br /><br />Siapa bilang aku tegar?<br />Air mata ini saja yang terlalu takut menampakkan wujudnya dihadapan mereka.<br /><br />Siapa bilang aku sabar?<br />Hey… aku hanya berharap semua terjadi pada waktunya.<br /><br />Siapa bilang aku tabah?<br />Tahukah kau, tubuhku ini tak punya cukup keberanian untuk menjalankan semua perintah otak.<br /><br />Siapa bilang aku pengertian?<br />Asal kau tahu, tak banyak perbendaharaan kata yang kupunya, hingga aku tak tahu kalimat amarah apalagi yang harus ku ucap.<br /><br />Siapa bilang aku adalah sang pengejar cita-cita?<br />Sadarkah kalian, bahwa dunia ini berputar bak gasing, sementara aku hanya terlanjur terjebak di kerumunan orang yang berlari mengejarnya.<br /><br />Siapa bilang aku pintar?<br />Sesungguhnya kalian tak pernah sadar bahwa kata-kataku ini hanya bualan.<br /><br />Beberapa berkata aku menawan?<br />Mata mereka terbatas, tak bisa menembus dalamnya lautan, dan hati yang terkubur didalamnya.<br /><br />Orang juga bilang, aku peduli masalah mereka.?<br />Sini kuberitahu kau, aku ini tak punya apa-apa untuk membalas budi. Tak ingin aku mendengar mereka mengatakanku tak tahu diri.<br /><br />Aku muak. Andai mereka tahu kata-kata mereka tak kan membawaku ke sorga.<br /><br />Jadi beginilah aku<br /><br />Seorang manusia biasa, yang munafik.<br /><br />Percayalah..!ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-31004426388670767862009-01-06T18:15:00.000-08:002009-01-06T18:20:28.071-08:00BantalAku lelah. Mataku berat. Kepalaku pening luar biasa. Aku benar-benar mengantuk. <br /><br />Lalu ku buka pintu kamar dengan semangat. Ada yang aneh saat kupandangi kasur bergambar Winnie the Pooh itu. Bantalku tak ada. Aku tak berdaya.<br /><br />Kemanakah bantalku? Satu-satunya barang berharga yang bertengger di atas kasurku. Tak biasa-biasanya ia menghilang. Atau adakah yang berani mengambilnya dariku? Ah, kurasa tidak. <br /><br />Tapi kemana?<br /><br />Bantalku menghilang.<br /><br />Aku tak bisa bersandar.<br /><br />Malam ini.<br /><br /> ***<br /><br />AKU : Sayang, bolehkah aku bersandar sekaliiiii saja. Tanpa aku meminta?<br />KAU : Cinta, belum cukupkah belaian, pelukan, dan kemanjaan yang kuberi padamu?<br />AKU : Sayang, aku hanya ingin bersandar. Sekaliiiii saja. Tanpa harus meminta.<br />KAU : Cinta, bulan pun akan aku ambilkan jika kau meminta.<br />AKU : Sayang. Aku tak ingin bulan. Aku hanya ingin bersandar. <br />KAU : Cinta, apapun yang kau minta…<br />AKU : Sayang. Kali ini aku tak ingin meminta. Sekaliii saja.<br />KAU : Lalu, cinta?<br />AKU : Aku hanya ingin bersandar. Tanpa meminta.<br />KAU : …… ….<br />AKU : …….. …<br /><br /> ***<br /><br />Itulah mengapa Venus tak pernah berjalan berdampingan dengan Mars. Karena Mars tak pernah mengerti apa yang diinginkan Venus. Sementara Venus tak pernah tahu bagaimana cara menyampaikan maksudnya pada Mars. Tanpa meminta. Gerak mereka terlalu berbeda untuk diisyaratkan dalam satu bahasa yang sama. Namun mereka tetap indah berputar sesuai orbitnya.<br /><br />(<em>Kamar Kos, Selasa 6 Januari 2009, 23.32 WIB. Gara-gara tak bisa tidur, dan terinspirasi sebuah sms yang menggunakan kata “belum cukupkah” dari nomor 0818040xxxxx</em>)ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-76316783967352715922009-01-01T23:13:00.000-08:002009-01-01T23:22:14.075-08:00Detik TerakhirKaliurang, 30 Desember 2008 <br /><br />Dua kali lagi matahari tergelincir, maka akan bertambah satu angka umur saya. Ah cepat sekali bumi berputar. Rasanya belum banyak yang saya perbuat tahun 2008 ini. Menikah, misalnya, hehehe. Eh saya sudah harus mengganti kalender dengan yang baru. <br />Saya memang belum sempet beli tanggalan, tapi liburan di rumah kemarin, pemetaan tahun 2009 sudah dimulai. Pinjam tanggalan ibuk. Kata beliau, “Golek tanggal ye, nduk?”. <br />Saya senyum-senyum aja. Hobi saya memang memandangi kalender. Selain menghitung banyaknya hari libur, saya suka membayangkan apa yang saya bisa dapatkan di waktu tertentu. Target. Itu istilah singkatnya. Namun saya tidak cukup pede untuk menyatakan sesuatu sebagai target.<br /><br />Berlama-lama menatap kalender juga berarti membangun setinggi-tingginya harapan bagi saya. Apalah artinya hidup tanpa harapan, bukan? Tidak perlu dijawab, karena ini hanya pertanyaan retoris. <br />Sampai hari ini, dua hari menjelang pergantian tahun masehi, saya belum juga menentukan resolusi, begitu istilah yang dipakai para artis, sepanjang tahun 2009 nanti. Impian sih ada. Tapi ternyata butuh keberanian besar untuk sekedar memutuskan apa yang saya inginkan. Butuh tak sebentar masa untuk menterjemahkan pikiran. Hingga seluruh syaraf motorik yang saya miliki bergerak searah jalannya pikiran. Gimana mau bergerak, kalau untuk men-decode saja susah. Itulah bedanya kita dengan anak-anak, yang tanpa beban bicara tentang berjuta keinginan. Ibaratnya dunia ini hanya berputar untuk mereka.<br /><br />Lalu kita? Usia yang beranjak dewasa membawa pikiran kian realistis. Bahkan terkadang cenderung pesimis. Mimpi saja tidak berani. Takut berharap, nanti kalau jatuh sakit. Selalu itu saja alasannya. Makanya saya kagum dengan Uus. Seorang teman dari Madura yang tak pernah berhenti bermimpi setiap kali ia mulai membuka mata. Menguras tenaga untuk berlari menggapainya hingga kaki bengkak sekalipun. <br /><br />Hidup. <br /><br />Bernafas. <br /><br />Berjalan. <br /><br />Makan. <br /><br />Kentut. <br /><br />Tidur.<br /><br /> Pipis.<br /><br />Apalagi yang bisa saya lakukan selain itu?<br /><br />Menikah dengan lelaki luar biasa. Punya anak lima. Menjadi manajer tim futsal anak-anak saya. Duduk di kursi tinggi. Tanda tangan bertumpuk-tumpuk kertas. Memimpin rapat. Menyeduh secangkir kopi untuk suami tiap pagi. Berkawan dengan microwave dan kue-kue panggang. Memasang kancing baju ayahnya anak-anak yang lepas. Menjadi penasehat karir dan kehidupan tiap malam. Menjadi guru les tiap sore di rumah. Menjadi makmum dalam setiap shalat.<br /><br />Aih indahnya...<br /><br />Kaliurang, 31 Desember 2008 <br /><br />Malam tahun baru pertama saya di Jogja. Tidak ada acara nonton tv atau meringkuk di atas tempat tidur seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak pula bercengkrama bersama keluarga atau sahabat-sahabat saya. <br /><br />Malam tahun baru pertama saya di Jogja. Mengerutkan dahi. Membelalakkan mata. Memusatkan kosentrasi. Memeras otak. Menelisik jalan alternatif. Merumuskan bentuk terbaru.<br /><br />Malam tahun baru pertama saya di Jogja. Kami, jejaring Dompet Dhuafa berkutat dengan rumus-rumus sosial untuk mencari formasi baru. Dompet Dhuafa Jogja sedang bermetamorfosis. Menggali kembali jati dirinya untuk menggerakkan seluruh sumberdaya, agar target 3M per tahun masuk kantong dan masyarakat miskin di Jogja tak ada lagi dalam statistik BPS.<br /> <br />23.55 WIB<br /><br />Melongok ke luar jendela. Yang terlihat hanya barisan-barisan anak muda. Gas motor yang di blayer-blayer. Letupan kembang api. Sementara kami masih saling mengajukan argumen.<br /><br />1 Januari 2009 <br /><br />00.03 WIB<br /><br />Palu diketok. Tanda kesepakatan dalam genggaman. Di luar jendela riuh semakin menjadi-jadi. Anak-anak muda semakin menggila.<br /><br />00.10 WIB<br /><br />Menahan mata yang kian berat. Memandang keluar jendela. Tinggal asap kembang api saja yang tersisa buat saya.<br /><br />Nasib.....ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-38970367268141445102008-08-08T05:40:00.000-07:002008-08-08T05:42:56.071-07:00BingungKaki saya berlari mengejar akhirat<br />Sementara pandangan tak pernah bisa lepas dari dunia<br /><br />Ah, mengapa tubuh saya sulit sekali saling berkompromi?ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-66017601124609856912008-07-30T03:20:00.000-07:002008-07-30T03:29:10.749-07:00SancakaSaya tak bergeming. Hanya sesekali menengok, menerawang jauh, bertanya-tanya adakah tanda-tanda yang saya tunggu muncul.<br /><br />Beberapa kereta lewat sudah. Satu, dua, tiga. ini sudah enatah yang ke berapa kali tiupan peluit panjang terdengar. Memanggil-manggil saya untuk segera beranjak. Mengepulkan asap keperkasaan. Menggerakkan kokohnya roda besi menggetarkan hati.<br /><br />Saya tetap tak bergeming. Kereta-kereta itu, jujur saja, menggelitik pikiran saya. Menggoda kesabaran yang kukuh saya dirikan. Apalagi tujuan tak berbeda. Bahkan datang lebih cepat dari prediksi saya.<br /><br />Tapi tubuh saya tak bergerak. Meski badan sudah pegal-pegal menunggu lama. Rasa juga mulai gulana. Hati juga hampir lelah. Menunggu Sancaka jurusan Surabaya-Jogja tiba.ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-34469878769667462202008-06-25T05:39:00.000-07:002008-06-27T18:15:11.535-07:00Nah, lho...<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3qLF1_uv_WJGkQpFrUQTfa5a_aHUdqWyjtGdP7A_wubz0ZZi2o3t-D78avICBzOzhtMixrZplh6j_QubIkt2hZFN6TYVpKZIAI7vfmF_TgVMZIB1oD_9Zn1hEqHIy3z_vTVAR-sTYneA/s1600-h/100_4493.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3qLF1_uv_WJGkQpFrUQTfa5a_aHUdqWyjtGdP7A_wubz0ZZi2o3t-D78avICBzOzhtMixrZplh6j_QubIkt2hZFN6TYVpKZIAI7vfmF_TgVMZIB1oD_9Zn1hEqHIy3z_vTVAR-sTYneA/s320/100_4493.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5215801852253237234" border="0" /></a><br /><div style="text-align: center;">Jadi cuma obsesi?<br />it's better for u not to expect too much, then...<br /><br /><br /></div>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-17863797183027662382008-06-07T21:39:00.000-07:002008-06-07T22:23:13.741-07:00You're Amazing<p class="MsoNormal">“Bisa nggak ya?”<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p>Ah, keluhan yang beberapa waktu terakhir kerap saya dengar. Sahabat saya itu, seorang calon sarjana komputer salah satu universitas negeri terbesar di Indonesia yang sedang resah sebab tugas akhir yang tak kunjung kelar. Ditambah bonus beberapa mata kuliah yang masih diulangnya, karena IPK belum<span style=""> </span>mencapai target yang dia inginkan. <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Sahabat saya itu mungkin tidak sangat istimewa. Penampilannya juga biasa-biasa saja. Tak pernah<span style=""> </span>saya mendengarnya berbicara tentang kelebihannya. Tapi dari setiap diskusi yang acap kami lakukan saya tahu ada potensi besar dalam dirinya. Semangatnya besar. Adakalanya saya bisa melihat kobaran api dalam matanya saat ia bertutur. Pantas saja, sebab dia penah duduk di satu jabatan penting dalam sebuah organisasi, dulu. <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p></o:p>Debat panjang tentang agama pun tak jarang kami lakukan. Saya jelas tak mau kalah. Berpegang pada pandangan-pandangan sederhana saya tentang persoalan agama, saya selalu <i style="">ngeyel</i>. Sayangnya, referensi saya memang terlalu sedikit, sehingga lebih sering saya diam saja mendengar teori-teorinya, juga cerita pengalaman praktisnya.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Sebaliknya, di satu waktu dia tampak begitu pesimis. Tak ada api dalam matanya yang kecil. Seolah dunia jadi beban di pundaknya. Dan bagi saya, kadangkala itu wajar dirasakan oleh anak pertama seperti dia, dan juga saya. <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">“Aku gak pengen mengecewakan ibu, dan orang-orang yang kusayang,”. Begitu katanya dalam sebuah percakapan kami di telepon. Hmmm... bagus juga niatmu, pikir saya waktu itu. Mereka pasti bangga mendengar kata-kata itu. Tapi saya cuma diam dan manggut-manggut.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Perasaan yang sama pernah saya rasakan tepat setahun lalu. Waktu itu saya sedang dikejar deadline skripsi. Sama seperti dia, keragu-raguan selalu hinggap dikepala saya. Membisiki dan menghantui tidur saya.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Parahnya, semua kesalahan yang ada di skripsi seolah terbongkar di depan mata saya tepat seminggu sebelum jadwal pengumpulan terakhir. Fatal lagi. Saya stress. Bingung. Mau merubah rumusan masalah, berarti saya membongkar seluruh skripsi. Mau merubah analisis, hueekksss perut saya sudah mual mendengar kata tersebut. Belum lagi air mata yang terus menetes setiap orang rumah menelepon. Malu sebenarnya, tapi sudah tidak <i style="">nahan.<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal">Menghubungi dosen akhirnya jadi pilihan terakhir. Untung dosen saya orang yang bijak dan mau bekerjasama. Buktinya, ditelepon malam-malam untuk curhat masalah skripsi beliau tetap <i style="">available</i>. Walaupun, kata teman-teman, beliau bukan pakar pada metode yang saya ambil. Pernah suatu kali saya bertanya tentang parameter yang jelas tentang <i style="">Reception Analysis</i>, metode yang saya gunakan dalam skripsi. Maksud hati ingin mengajak beliau berdiskusi, namun beliau malah bertanya balik, “Apa ya? Menurutmu apa?,” Glodak.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Saya sih maklum saja. Beliau memang bukan ahli metodologi, bukan pula pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, namun seorang praktisi gender. Sementara skripsi saya <i style="">blas</i> tidak ada sangkut pautnya dengan gender.<i style=""> </i>Dan saya berani mengacungkan empat jempol untuk pemikiran-pemikiran beliau tentang permasalahan gender di Indonesia, disamping cara beliau memotivasi mahasiswa bimbingannya yang sedang diambang kehancuran, seperti saya.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Itu tentang saya. Keraguan yang sama, saya yakin,<span style=""> </span>pasti dialami mereka yang berada pada fase seperti tersebut, termasuk sahabat saya itu. Keluarga dan orang-orang terdekat, pada fase seperti itu, benar-benar terasa memiliki peran penting untuk membangun motivasi. Bila setahun yang lalu sahabat saya itu pernah memberi dorongan pada saya walau sebatas SMS, kini bagian saya yang <i style="">push forward</i>. Yah, tidak banyak tentunya sebab saya buta tentang pemrograman. Saya juga cuma bisa berkata:</p><p class="MsoNormal"></p><blockquote></blockquote> <p></p><div style="text-align: center;"><blockquote>Sahabat, <i style="">you are amazing, more than what you think you are</i>.</blockquote><blockquote></blockquote></div><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-61591418779309978962008-05-27T03:23:00.000-07:002008-06-25T06:06:21.952-07:00Jogja...Jogja.. (Part Two)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyAhyjVH1qMDV7ndA9PPdlDfY7KusY-tvuEQp3HLg9BFwJ6pXsFLv6bvpnFQ9K4LJ6f-lXpR9IH4x_nKomYC4mEn6R-bnSqGIaQDG5cAcXYEzW4BD1ab23B0FQSvg6LvyRIKQFpd6wwSU/s1600-h/100_4524.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 129px; height: 173px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjyAhyjVH1qMDV7ndA9PPdlDfY7KusY-tvuEQp3HLg9BFwJ6pXsFLv6bvpnFQ9K4LJ6f-lXpR9IH4x_nKomYC4mEn6R-bnSqGIaQDG5cAcXYEzW4BD1ab23B0FQSvg6LvyRIKQFpd6wwSU/s320/100_4524.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5215803410811637538" border="0" /></a><br />"Pokoke yo, idealnya, memulai kehidupan baru iku yo di tempat yang baru,"<br /><br />"Halah gayamu..jeng..jeng,"<br /><br />"Leh yo ngono, soale kan dengan berada di lingkungan baru kita bisa membentuk diri kita yang baru. Jadi yang dinilai orang iku siapa yang mereka lihat, bukan siapa kita sebelumnya, ngono loh mudeng ra?"<br /><br />"Lha emange awakmu arep memulai kehidupan baru neng endi toh?"<br /><br />"Yo selain Suroboyo lah pokoke. Karo Magetan, secara 18 tahun urip neng Magetan getooo. Yo Bandung kek, utowo Malang, utowo Yogjo. Pokoke pengenku sih kota besar yang tidak lebih besar dari Surabaya ngono, mereka membutuhkan sentuhanku disana. Hahahaha"<br /><br /><div style="text-align: center;">xxx<br /><br /><div style="text-align: left;">"Mau hijrah ke Jogja, Pak,"<br /><br />"Lho mau ngapain ke Jogja? Emang kamu mau S2?"<br /><br />"Eeeeeemmm.. keliatannya sih gitu, Pak"<br /><br />"Trus kapan kamu mau berangkat?"<br /><br />"Rencananya sih minggu depan, tanggal 18. Tapi mau ke Semarang dulu. Ada acara di sana,"<br /><br />"Trus mulai off kapan?"<br /><br />"Ya tanggal 18 itu, Pak. Nanti itu jadi hari terakhir saya. Jadi liputan tentang Wedding Organizer itu saya selesaikan dulu trus malamnya saya langsung berangkat ke Semarang, Pak,"<br /><br />"Trus ke Jogjanya?"<br /><br />"Ya mungkin setelah tiga hari di Semarang,"<br /><br />"Ya sudah, jangan lupa bikin surat ke Mbak Diah, biar kamu dapat pesangon,"<br /><br />"Terimakasih, Pak"<br /><br /><div style="text-align: center;">xxx<br /><br /><div style="text-align: left;"><span style="font-style: italic;"><blockquote></blockquote><blockquote>It seems like my words come true. Di kota inilah saya sekarang berada</blockquote><blockquote></blockquote></span><br /></div></div></div></div>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-6256397572190214362008-05-11T07:51:00.001-07:002008-06-07T21:49:42.089-07:00PertarunganSaya adalah pemenang<br />Ya, saya selalu menjadi pemenang<br />Dalam setiap pertarungan saya tak pernah kalah<br />Selalu jadi pemenang<br />Tanpa perlu berkeringat<br />Apalagi berdarah-darah<br /><br />Tapi itu dulu<br /><br />Hingga akhirnya saya mengerti anyir bau darah<br />Paham asinnya keringat<br />Hapal kata orang "kalah dulu kalau mau menang"<br />Atau dongeng tentang si pecundang yang berjuang bangkit dari kekalahan<br />Lalu akhirnya menang<br /><br />Tapi tolong ingatkan saya<br />Bagaimana rasanya menjadi pemenangajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-43298870872897249792008-05-06T09:29:00.000-07:002008-06-07T21:53:50.458-07:00Fela dan Dewi Persik<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwgQji86XfNyr95sRWhymij8pprPeEFQUWxEHQiXrGd-WcSNfK_bItdsXuKssaOvL8XavgrW9o5yHNyKzVg3Jh1t2-GQ1lBiChdLlojIPNLgkub70kKdlfJoSTgxZLNwzoOo1UXvG0gBw/s1600-h/muslimah.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5199129357110712802" style="margin: 0px 0px 10px 10px; float: right; width: 202px; height: 115px;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwgQji86XfNyr95sRWhymij8pprPeEFQUWxEHQiXrGd-WcSNfK_bItdsXuKssaOvL8XavgrW9o5yHNyKzVg3Jh1t2-GQ1lBiChdLlojIPNLgkub70kKdlfJoSTgxZLNwzoOo1UXvG0gBw/s320/muslimah.jpg" border="0" height="145" width="241" /></a><br />Kakak sepupu saya sedang gundah. Fela, anak gadisnya yang masih berusia 3 tahun sudah tak betah berada di rumah. Memang, setahun belakangan gadis kecil ini terus merengek minta sekolah kepada mamanya. “Aku tuh bosen loh ma kalo di rumah terus,” begitu rayunya.<br /><br />Untuk anak seusianya, Fela tergolong cerdas. Sudah berapa puluh lagu yang ia hafal. Meski dia tak pernah tahu apa maksud dari liriknya, sebab hampir semuanya lagu orang dewasa. Diajari Bahasa Inggris pun tak susah. Sebelas angka dalam Bahasa Inggris sudah dihafalnya walaupun diucapkan dengan gaya cadel. Mengaji pun ia bisa. “Sudah sampe ka, ik!” katanya pada saya.<br /><br />Bulan Juli tahun ini ia akan masuk sekolah. Belum TK, masih Playgroup. Kakak saya ingin agar anaknya beradaptasi dengan teman sebayanya terlebih dulu sebelum ia benar-benar merasakan sekolah.<br /><br />Begitu banyak pilihan yang datang pada kakak sepupu saya. Maklum, perkembangan lembaga pendidikan berjalan cukup pesat di kota kecil seperti Magetan. Namun keinginan kakak saya tak pernah jauh dari satu hal: anaknya harus masuk sekolah Islam.<br /><br />Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Selain pengetahuan ke-Islaman kedua orang tua yang pas-pasan, kakak saya ingin memastikan bahwa anaknya berada di tangan orang-orang yang dipercaya mampu memberikan ilmu agama, bahkan melebihi apa yang ia tahu. Apalagi, kedua orang tua Fela adalah orang sibuk. Mamanya, kakak sepupu saya, adalah sekretaris pribadi Bupati Magetan yang sedang menjabat saat ini. Sementara ayahnya adalah seorang mantri (begitu mereka mengistilahkan) Bank milik pemerintah. Kondisi pekerjaan mengharuskan mereka berangkat pagi dan pulang sore setiap harinya. Sementara saat mereka tak di rumah, Fela diurus oleh pembantu dengan pendidikan terakhir tamatan SMP.<br /><br />Kesibukan kedua orang tua memang tak dapat menjadi pembenaran bahwa pendidikan anak menjadi urusan orang lain. Namun terkadang jika kondisi memaksa, penting untuk mencari orang-orang di luar keluarga dengan bekal pendidikan memadai sebagai supplier ilmu, selain yang diberikan oleh keluarga. Dan karena itulah kakak saya memilih memasukkan anaknya di salah satu sekolah Islam di kota saya. Bukan hanya agar Fela memiliki ilmu agama yang cukup, jauh melebihi itu, ia ingin agar Fela memiliki akhlakul karimah, akhlak yang mulia. Dan saya salah satu orang yang sangat mendukung keinginan kakak saya. Sebab sedikit banyak saya termasuk golongan penganut teori tabula rasa, meski yakin bahwa tetap ada campur tangan Tuhan di sana.<br /><br /><br /><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5199129687823194610" style="margin: 0px auto 10px; display: block; width: 188px; height: 261px; text-align: center;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZzhutPGh8SuK2Wcx7HuL7RVeFPztqcw7WiV60fl77VVTNZP-m3DsURm4x85HwHmleFzCExwQPM78dMB1B-Psl0ov89Et6UpcZgNLUgY4SU3MME6SFLThRNQXvjKQcsQCNyANy9G6YjcQ/s320/FELA+%2885%29.JPG" border="0" height="261" width="189" /><br />Kakak saya mungkin salah satu diantara sekian banyak orang yang percaya bahwa akhlak adalah dasar dari segala sesuatu. Akhlak bisa dibentuk dari kondisi lingkungan, termasuk budaya dan agama. Meski keberadaanya tak dapat diukur, namun saya yakin, semua orang memiliki standar yang sama tentang mana yang baik dan mana yang bukan. Semua orang dari suku apapun dan dari agama manapun.<br /><br />Maka saya heran kepada media massa dan sekian banyak orang yang masih mempertanyakan mengapa para pimpinan daerah itu mencekal goyangan erotis Dewi Persik. Dengan dalih, masih banyak masalah besar yang harus mereka selesaikan seperti kemiskinan serta korupsi yang makin merajalela, tapi justru itu adalah hiburan bagi masyarakat kecil.<br /><br />Oya?<br /><br />Benar, goyangan para artis dangdut tersebut tidak akan menimbulkan kemiskinan. Juga bukan tindakan kriminal seperti korupsi. Namun tidakkah mereka sadar, bahwa goyangan yang tersaji di depan umum itu adalah layaknya virus yang langsung menyerang akhlak para penontonnya. Dan tidakkah mereka sadar, bahwa tindakan korupsi yang menjadi pemicu meningkatnya tingkat kemiskinan di Indonesia adalah karena para pemimpin itu tak memiliki akhlak mulia.<br /><br />Maka bayangkan bagaimana Indonesia ketika akhlak manusia-manusianya telah terkena virus.ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-16392740136049687842008-02-23T07:31:00.001-08:002008-06-07T21:53:58.954-07:00Jogja... Jogja...<div>Jogja tahun 2003<br />Kesan saya: “Kok jalannya ini-ini aja sih?”. Bukan berarti saya menyepelekan jalanan super rame Kota Gudeg itu, tapi apa yang saya lihat memang pemandangan yang hampir sama di setiap sudutnya. Padahal waktu itu adalah kali pertama saya pergi ke Jogja bukan untuk piknik. Catat: bukan untuk piknik. Melainkan untuk mempertaruhkan masa depan saya di atas sebuah kertas bertuliskan Lembar Jawaban Ujian Masuk Universitas Gajah Mada. Sementara tahun-tahun sebelumnya Jogja yang saya tahu hanyalah Candi Borobudur, Malioboro, dan Pantai Parang Tritis. Namun perasaan boring dan sumpek melihat Jogja dari balik jendela mobil lebih kuat mempengaruhi pikiran, saat seorang teman mengantar kami, tiga orang gadis desa yang mencoba peruntungan demi cita-cita, berkeliling menikmati indahnya kota seni itu. Akhirnya keengganan untuk menghabiskan masa studi di sana pun tumbuh. Alhasil nama Ajeng Rahadini Indraswari tak tertulis di papan pengumuman penerimaan UM UGM. Ralat...sebenarnya faktor tidak bisa menjawab soal-soal ujian memiliki kontribusi lebih besar daripada perasaan enggan tinggal di Jogja bagi kegagalan saya. </div><div><br /></div><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5170199074394032658" style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizRkFHZi1c2MyIgw_0I6CuORBK3CZe368gk74NgEy818F5HML_IZDeXk1lA5YRHLUfaiwajh_p9tgybVS431PLJ-9GFzB03OeQ_DLZM7xU3C8ZG_qC801aU2qlLO7B8_pgnqQttGvUkPQ/s320/prambanan-blog.JPG" border="0" /><br />Jogja tahun 2005<br />Jogja Plaza Hotel. Hotel berbintang empat di kawasan ..... ah saya tak tahu nama daerahnya, yang pasti letaknya tak jauh dari Universitas Sanata Dharma, seingat saya, menjadi saksi satu momen berkesan dalam hidup saya. Kami ber-empat ratus dari seluruh pelosok tanah air berkumpul di tempat ini, bukan untuk melakukan huru-hara, namun yah, sekedar gathering saja. Tentu saya tidak kenal semuanya, tapi setidaknya tiga puluh dari mereka saya yakin kenal. Kedatangan kali ini juga tak butuh pengorbanan dan perasaan cemas akan hari depan seperti sebelumnya, sebab di Jogja kali ini saya datang untuk bersenang-senang. Menikmati berada perangkap bukit-bukit tinggi di Kaliurang, mengagumi bukti cinta teramat besar Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang, yang pasti napak tilas perjalanan para Raja jaman kuno (untuk yang satu ini sebenarnya sudah terlalu sering sih), dan juga menghabiskan sisa receh untuk memborong gelang di Malioboro (lagi...). Jogja terasa lebih menarik kali ini.<br /><br /><br />Jogja tahun 2006<br />Saya kembali lagi. Sayangnya tak lama, juga tanpa perjalanan menyusuri jalan “yang itu-itu saja”. Namun... whoaa... mata saya tak bisa lepas dari kepulan asap di pucuk Merapi yang terasa sangat dekat. Keindahannya mengalahkan rasa lelah kami saat mengikuti outbond training di Kalikuning selama 2 hari. Seolah kepulan asap itu ikut menghangatkan tubuh berlapis kaus yang tersiram air hujan selama dua sore berturut-turut. Mungkin saya akan kembali ke Jogja nanti.<br /><br /><br />Jogja tahun 2007<br />Jogja (saya) kembali (lagi). Dan ini menjadi pengalaman pertama bagi mata saya melihat dan merasakan angin malam Jogja. Merasakan keramaian pemuda di sekitar Bunderan Jogja (akhirnya...), setelah menodong temang untuk mengantar saya kesana malam-malam, juga menguji mitos akan terkabulnya permintaan saya jika berhasil melewati diantara dua pohon beringin di alun-alun kidul dan berhasil. Sayangnya ternyata mitos itu salah total, buktinya permintaan saya tidak terkabul. Waktu itu saya mohon agar tubuh saya bertambah tinggi hingga 165 cm sehingga lolos masuk seleksi reporter Metro TV, namun nyatanya sampai sekarang tinggi saya tak lebih banyak dari 5 kaki. Jogja kali ini juga memperlihatkan pada saya view-nya dari dataran tinggi serta pemandangan puncak Merapi sekali lagi, tapi bukan dari Kalikuning, melainkan dari Ketep Pass. Pun, Kaliurang mempertontonkan keindahannya sekali lagi, meski saya tidak berhasil menemukan tujuan wisata utamanya: air terjun. Dan Jogja memang menarik.<br /><br />Jogja tahun 2008<br />Belum kesana lagi. Semoga saya bisa Jogja kembali. Dan saya akan napak tilas semua perjalanan yang pernah terlewati. Tak lupa menyiapkan permohonan yang lebih realistis (hehehe). Juga dompet yang penuh untuk membeli gelang (yang mungkin saja saya jual lagi kalau sedang bokek :p). Karena Jogja lebih dari sekedar menarik.ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-71438302473717256032008-02-23T07:29:00.000-08:002008-06-07T21:57:56.064-07:00Pak TuaTongkat hitam besi menuntut langkahnya yang sedikit gontai. Salah satu kakinya kurang berfungsi mungkin sehingga membutuhkan tongkat itu untuk membantunya berjalan tegak. Lelaki paruh baya itupun berhenti di depan saya. Saya mengelengkan kepala sebab memang tidak ada uang kecil yang bisa saya masukkan ke dalam gelas bekas air mineral dalam genggamannya. Begitu pula dengan seorang ibu di depan saya.<br /><br />Tak lebih dari satu meter meninggalkan tempat saya duduk, suara anak kecil memanggilnya. Membawa selembar dua puluh ribuan di tangan kanannya, seorang lelaki kecil berlari mendekat pada pak tua. Kulitnya hitam. Badannya kecil. Umurnya mungkin baru belasan tahun. Pakaiannya cukup bersih dengan sepasang sepatu hitam putih sebagai alasnya. “Tukar uang, Pak,” katanya.<br /><br />Menahan rasa terkejut sekaligus keinginan untuk tertawa, saya mengamati kedua orang yang memiliki wilayah kerja yang sama tersebut. Setelah menerima selembar uang dari si bocah, dengan santainya si bapak meletakkan tongkat yang membantunya berjalan, dan berdiri tegak dengan kedua kakinya. Tidak tampak ada keganjilan dalam kaki kirinya. Kaki yang setahu saya memerlukan tongkat besi hitam untuk menjaganya tetap tegak. Sementara kedua tangannya kini sibuk mencari pecahan uang kecil untuk si bocah di dalam kantung pada ikat pingganggnya. Usai transaksi, bapak tua meraih tongkat hitamnya dan kembali berjalan seperti saat dia mendekati saya tadi.<br /><br />Jaman sekarang. Orang semakin kreatif saja mencari cara mendapatkan uang. Maklum uang menjadi segalanya saat ini. Saat semua hal sekalipun dalam hidup membutuhkan uang.Lihat saja. Kalau dulu setiap kali naik kendaraan umum kita hanya akan menemui penjual buah, air mineral, serta buku-buku primbon, kini variasinya semakin bertambah. Apalagi dalam kereta ekonomi seperti yang saya tumpangi. Mulai dari penjual makanan dan minuman “konvensional” hingga yang siap saji, seperti mie instan cup dan kopi instan. Hanya bermodal satu termos berisi air panas dan puluhan makanan dan minuman instan dalam sachet, untung pun diraih. Voucher isi ulang “berjalan” pun ada. Sehingga penumpang tak perlu khawatir jika kehabisan pulsa telepon seluler. Ada pula jasa cleaning service yang akan membersihkan lantai sepanjang gerbong. Tak gratis tentunya. Bayarannya, cukup memasukkan uang kecil seikhlasnya di kantung atau gelas bekas yang telah tersedia. Rejeki memang selalu datang dari cara-cara ya tidak pernah diketahui sebelumnya.<br /><br />Sandainya saja pak tua memanfaatkan tubuhnya yang masih kekar, mungkin ia akan mendapatkan sesuatu “lebih” tanpa perlu membohongi dirinya sendiri.ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-36686287731971439312008-01-30T23:02:00.000-08:002008-06-07T21:59:46.200-07:00SendiriTak seorang pun di dunia ini mengerti<br />Kalimat yang kuucap<br />Dengan bahasaku<br />Bahkan saat aku mencoba menggunakan bahasa mereka<br />Tetap tak pernah mereka mengerti<br />Dan aku hanya bisa menangis<br />Tak tahu dengan cara apalagi aku akan membuat mereka mengerti kalimatku<br /><br />Saat aku tak lagi bisa mengendalikan dunia<br />Saat aku melihat bolaku terlepas dari genggaman<br />Saat aku tak mampu menuliskan sebuah kisah mengesankan pada skenario hidupku<br />Dengan penaku sendiri<br />Saat aku tak kuasa menentukan jalan mana yang harus kulalui<br />Untuk sampai ke taman firdaus yang dibangun untukku<br />Bahkan membayangkannya pun aku tak bisa<br />Sementara aku hanya bisa menangis<br />Atas segala ketidakberdayaanku<br /><br />Aku memang manusia sombong<br />Yang tak mau mengaku kalah dalam pertarungan ini<br />Yang tidak sabar menunggu waktu lebih lama untuk membuat naskah yang jauh lebih menarik dengan segala lika-likunya<br />Yang terlampau cepat merasa lelah berjalan di lorong panjang, gelap, dan berliku menuju istana<br />Dan hanya mau melewati jalan pintas lebar beraspal yang tak mungkin ditemui<br />Yang merasa bisa menghalau topan dalam kesendirian<br />Sementara tubuhku tak lebih besar dari setitik debu<br />Yang tak rela melihat manusia lain memegang batangan emas<br />Sedangkan aku hanya mengantongi bijih besi<br />Yang hanya ingin dimengerti dan didengar<br />Sementara tak pernah mau mengerti dan mendengar kata-kata mereka<br />Yang selalu merasa miskin diantara harta yang menggunung<br />Aku hanya bisa menangis<br /><br />Sedangkan aku tak pernah menyadari<br />Inilah cara Tuhan mencintaiku<br />Inilah cara mereka menunjukkan kasih sayangnya padaku<br />Inilah cara dunia mendewasakanku<br />Bahwa kegelapan akan menghapus rasa takutku<br />Bahwa jalan berbatu akan mengajariku untuk berlari tanpa terjatuh<br />Bahwa angin akan menunjukkan cara menguatkan tubuh rapuhku<br />Bahwa hujan akan menghapus air mataku<br />Dan aku benar-benar menangisajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-2050447525405290562008-01-02T19:47:00.000-08:002008-06-07T22:00:32.244-07:00Hepi Nyu YiiTak terasa setahun sudah berlalu sejak saya menikmati pesta kembang api di alun-alun Magetan pada pergantian tahun 2007 lalu. Banyak hal yang mempengaruhi hidup saya selama satu tahun saya melewatinya. mulai dari magang di Metro TV Surabaya yang sedikit banyak membuka mata saya akan kehidupan kaum pers, plus membuat saya kembali melirik profesi reporter yang sekian lama saya pendam. Lalu skripsi yang menyedot hampir seluruh energi dan pikiran, serta mengajarkan bagaimana menjadi seorang pemberani. Berani mencoba hal baru. Berani bertanggungjawab. Berani <span>nyleneh</span>. Juga berani <span>melek</span> sendirian di tengah malam.<br /><br />Lulus, dan lolos dari jeratan duo macan penguji skripsi saya, adalah salah satu titik balik kehidupan saya tahun lalu. Semua berubah. Mulai dari pola pikir hingga pola tidur. Sebenarnya untuk hal yang saya sebut terakhir, sejak proses pengerjaan skripsi memang sudah berubah total. Terutama 2 bulan terakhir. Ditambah lagi pekerjaan*, serta suara cempreng si kurus**. Benar-benar mengganggu kehidupan malam saya bersama guter (guling tercinta)***.<br /><br />Tapi di tahun 2008 ini, pantaslah saya menginginkan hal yang lebih:<br /><ol><li>Mendapatkan pekerjaan baru secepat mungkin. Meski masih ada dilema dalam diri saya, sebab orang tua yang ingin anaknya jadi seperti orang kantoran biasa yang tunduk pada aturan sementara sang anak yang <span>ndablek </span>dan menginginkan pekerjaan yang bisa membawanya keliling dunia, tapi keinginan saya tetap bulat. Saya ingin segera mandiri dan tak lagi menjadi beban orang tua, negara, dan agama. Selain itu <span>pinginnya</span> saya bisa bagi-bagi angpao (lagi) pada keponakan yang jumlahnya kian banyak saja, juga cucu-cucu saya. Maklum, meski terbilang masih muda, saya sudah dipanggil oma oleh beberapa anggota keluarga. (Hhhh..)</li><li>Pergi menemui kawan-kawan lama saya di Makassar.... dengan syarat, harus gratis! Untuk hal yang satu ini, saya memang sedikit terobsesi. Bahkan saya punya angan-angan untuk bersuamikan orang Makassar, jadi saya bisa tinggal di sana. Wakakakakak... Sayangnya para biro jodoh saya di sana belum menemukan satu yang tepat, padahal foto-foto sudah disebar. heuheuheu...</li><li>Menikah. Meski menurut perhitungan logis yang sudah saya lakukan bertahun-tahun yang lalu bahwasanya secara mental, spiritual, maupun material saya baru siap menikah setahun setelah bekerja, dimana itu berarti kemungkinan saya baru akan menikah tahun 2009 nanti dikarenakan sampai tahun ini saya belum bekerja, saya tak pernah putus asa untuk tetap menyimpan keinginan menikah di usia 23. <span>It means, this year I have to get marry. </span>Saya tidak ingin dipanggil nenek oleh teman-teman anak-anak saya ketika saya mengantarkan mereka ke TK kelak. "Eh kamu diantar nenekmu ya?Wah cantik banget ya nenekmu?Arggh.. <span>what a nightmare</span>. Tetap tidak membangakan meski mereka mengatakan saya cantik. Singkatnya ingin hidup <span>happily ever after</span> dengan lelaki yang akan menjadi partner saya berpetualang menghadapi dunia. (heuheuheu.....)</li></ol><br />Yah.. meski sedikit terlambat,,<br /><br /><div>SeLAmaT tAHun bARu..<br />sEMogA Allah seNAntIAsa mELimPAhkaN rAHmat kEPAda kiTA uMAt yANG seLALu MencINtaI-Nya<br /><br />Amien..<br /></div><br /><br /><span>*)Saya sempat bekerja sebagai seorang reporter yang mengharuskan saya untuk selalu pulang malam dan tidur lewat tengah malam<br />**)Kurus adalah sejenis nama orang aneh yang memandang saya dengan kacamata aneh juga. Dia selalu mengatakan saya gendut, padahal ...bahkan tukang pom bensin yang tidak kenal pun mengatakan saya lansing. Tapi kata-kata kurus tidak akan menyurutkan keistiqamahan saya untuk makan dengan porsi berlebih.<br />***)Guter adalah guling jelek nan kusut tapi sangat empuk dan selalu menemani tidur saya. Saya tetap mencintainya meski teman-teman saya mencemooh kondisinya.<br /></span>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-77926059683636759592007-12-13T21:12:00.000-08:002008-06-07T22:00:46.476-07:00Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri<p style="color: rgb(51, 0, 51);"><a rel="nofollow" target="_blank" href="http://maramissetiawan.files.wordpress.com/2007/03/lemon_1600..jpg"><img title="lemon_1600.jpg" alt="lemon_1600.jpg" src="http://us.f525.mail.yahoo.com/ya/download/us/ShowLetter?box=Inbox&MsgId=4354_2634005_28483_3387_264000_0_4178_379875_3199888625&bodyPart=2.2.2.2.4&YY=63942&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0&Idx=0" align="left" border="0" height="96" width="128" /> </a><span style=";font-family:Times New Roman;font-size:100%;" ><span style="font-size:12;"> </span></span><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Arial;"><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Dari Anas dan Qatadah R.a, dari Nabi Saw Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri, Qotadah R.a berkata:"Bagaimana dengan makan?" B</span></span><span style="font-family:Arial;"><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">eliau Saw menjawab: "Itu kebih buruk lagi". (HR.. Muslim dan Turmidzi) </span></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda<br />"Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !" (HR. Muslim) </span></span><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;"></span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style="font-size:100%;"><strong><span style="font-family:Arial;"><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Rahasia Medis</span></span></strong></span><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;"><br />Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani berkata: "Minum dan makan sambil duduk, lebih sehat, lebih selamat, dan lebih sopan, karena apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan. Adapun Rasulullah Saw pernah sekali minum sambil berdiri maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk. seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat! </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Begitu pula makan sambil berjalan, sama sekali tidak sehat, tidak sopan, tidak etis dan tidak pernah dikenal dalam Islam dan kaum muslimin. </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Dr. brahim Al-Rawi melihat bahwa manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupkan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat tepenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, dimana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.<br />Dr. Al-rawi menekankan bahwa makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus.<br />Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (Vagal Inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak.<br />Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus –menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang masuk.<br /></span></span></p><p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum. </span></span></p> <p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Oleh karena itu marilah kita kembali hidup sehat dan sopan dengan kembali ke pada adab dan akhlak Islam, jauh dari sikap meniru-niru gaya orang-orang yang tidak mendapat hidayah Islam.</span></span></p><p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;"><span style="font-style: italic;">Subhanallah</span>.....<br /></span></span></p><p style="color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">(Diambil dari Inbox-ku, 13 Desember 2007)<br /></span></span></p> <p style="text-align: justify; color: rgb(51, 0, 51);"><span style=";font-family:Arial;font-size:100%;" ><span lang="NO-BOK" style="font-family:Arial;">Sumber: Qiblati edisi 04 tahun II. Judul: <em><i> <span style="font-family:Arial;"><span style="font-family:Arial;">Larangan Minum sambil berdiri</span></span></i></em>, Hal 16</span></span></p>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-34382268593804282152007-12-06T08:43:00.000-08:002008-06-07T22:01:19.620-07:00Semoga<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMNxhGi8-RvCBT1C_voW8OoMiamfjSFiMt7NhClyDNMqJFGixtrRAZM8OFEpYSEuVWlQK_CT5Ac5leKWaDFACFy42J2Yf9vtEcZksJ9r4ArGLx2QYf_pz5Lph88Rjyx4v6_KWocmaaLiQ/s1600-h/kaca+pecah.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5140905227915239618" style="margin: 0px 10px 10px 0px; float: left;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMNxhGi8-RvCBT1C_voW8OoMiamfjSFiMt7NhClyDNMqJFGixtrRAZM8OFEpYSEuVWlQK_CT5Ac5leKWaDFACFy42J2Yf9vtEcZksJ9r4ArGLx2QYf_pz5Lph88Rjyx4v6_KWocmaaLiQ/s320/kaca+pecah.jpg" border="0" /></a><br /><div>Seorang lelaki di seberang lautan saat ini mungkin sedang menangis. Tidak. Mungkin dia hanya bersedih. Mencoba tegar, membangun harapan baru, dan kembali melanjutkan hidupnya.<br /><br />Hatinya mungkin teriris saat membaca sms balasan dari saya. Tidak banyak yang saya tahu. Hanya sedikit berita tentang gadis pujaannya yang akan menikah, tak lama.<br /><br />Bahkan untuk meyakinkannya pun saya berusaha mencari kebenaran, atas permintaannya. Sayang, saya tak berhasil mendapatkannya. Hanya secuil berita kurang lengkap dari seorang sahabat lama. Mungkin tak mampu memuaskannya, hingga lelaki itupun bertekad mencari kebenaran untuk dirinya.<br /><br />Dan saya tahu harapannya telah pupus. Saat sebuah sms masuk, sore itu.<br /><br /><em>Terimakasih ya Jeng. Semua sudah jelas. Dia memang mau menikah. Maaf sudah menganggumu. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu</em>.<br /><br />Semoga Allah memberimu kekuatan.</div>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-68585083411504575292007-12-06T08:42:00.000-08:002008-06-07T22:01:35.763-07:00Perempuan dalam Kereta<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAfukL5eUiNEp5q4tMFYWiumo7wJn3l5FL7r5HYSjrs_N8WRp-X2tvTBHWyTlX2Dvm-7p8o4pMSptahkzO3DpacJBqAZ5tqh4gywZKkVO54ZAS3wRSFZsfgFuQRqWFY23AOcCLDZOGD4A/s1600-h/mudik.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5140903870705574066" style="margin: 0px 0px 10px 10px; float: right;" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAfukL5eUiNEp5q4tMFYWiumo7wJn3l5FL7r5HYSjrs_N8WRp-X2tvTBHWyTlX2Dvm-7p8o4pMSptahkzO3DpacJBqAZ5tqh4gywZKkVO54ZAS3wRSFZsfgFuQRqWFY23AOcCLDZOGD4A/s320/mudik.jpg" border="0" /></a><br /><div>Dalam kereta ekonomi Rapih Dhoho tujuan Kediri, saya pikir saya termasuk orang paling sabar. Saat itu hampir semua orang mengeluh, kereta yang seharusnya berangkat pukul 15.47 dari Stasiun Gubeng, kemudian melanjutkan perjalanan ke Stasiun Semut untuk ganti lokomotif, molor tak kurang dari satu jam. Penyebabnya bisa jadi karena ada masalah teknis atau karena banjir, karena memang hujan lebat baru saja mengguyur Surabaya beberapa saat sebelumnya.<br /><br />Kereta terasa pengap karena ratusan penumpang saling berdesakan. Belum lagi lantai gerbong yang tergenang air. Lampu gerbong yang mati menambah keruh keadaan. Seorang perempuan setengah baya di samping saya tak henti-hentinya menggerutu. Saya? Hanya bisa menucapkan istighfar beribu kali untuk menenangkan hati dan mendinginkan kepala yang rasanya seperti mau pecah. Saat itu saya merasa berada pada puncak kesabaran, hingga saya dapati seorang perempuan awal tiga puluhan masuk gerbong yang saya tumpangi dengan dua anaknya yang masih kecil.<br /><br />Tangan kirinya membawa tas hitam kecil sekaligus menggendong anaknya yang baru berusia sepuluh bulan. Sementara tangan satunya menarik travel bag ukuran sedang serta menggandeng anak lelakinya yang lebih besar. Dan perempuan itu duduk di sebelah saya.<br /><br />Selama perjalanan, si anak lelaki tak pernah berhenti bertingkah. Hiperaktif mungkin, itu menurut saya sih. Dia selalu mengeluarkan kepalanya melalui jendela dengan tumpuan kaki di (saya kurang tahu istilahnya) meja kecil yang menempel pada dinding kereta. “Lihat, banjir ma,” ucapnya. Bukan hanya saya, orang-orang yang melihat merasa miris, khawatir jika si bocah hiperaktif tergelincir dan jatuh keluar kereta. Sementara itu, si kecil tak henti-hentinya menangis karena kepanasan.<br /><br />Apa yang dilakukan perempuan itu? Dengan penuh sikap keibuan, ia menyusui si kecil sambil mengipasinya. Di sela-selanya, ia menegur anak lelaki, menanyakan apa yang dilihatnya di luar. “Tidak ada apa-apa ma,” jawab si bocah. “Ya sudah, tidak ada apa-apa kan? Turun ya, nak!” ujar perempuan itu tanpa memaksa.<br /><br />Selama hampir dua jam perjalanannya ke Stasiun Sumobito, yang dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam, tidak terdengar kata-kata bernada keras keluar dari mulutnya. Bahkan ketika si kecil sudah mulai terlelap di pelukan tangan kirinya, tangan kanannya masih mampu menjaga bocah lelaki yang tetap berdiri dan menjulurkan kepala keluar. Sesekali tampak keduanya tertawa.<br /><br />Hingga saat kereta berhenti di Stasiun Sumobito, perempuan itu turun membawa semua bawaan dan si kecil yang tertidur serta si bocah yang mulai mengantuk di gandengan. Tak terlihat seorang lelaki pun yang membantu meringankan bebannya. “Kemana bapaknya?” Mungkin itu menjadi pertanyaan yang berkecamuk di pikiran penumpang lain yang melihatnya. Termasuk saya.<br /><br />Saat itulah saya merasa malu. Ternyata kesabaran saya belum seberapa.</div>ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-15163993654214261482007-12-06T07:03:00.000-08:002008-06-07T22:02:23.142-07:00Merawat Rambut Bagi JilbaberMembaca sebuah tabloid wanita nasional terbitan grup penguasa media di Jawa Timur, saya mendapati sebuah artikel penting tentang perawatan rambut bagi perempuan berjilbab. Satu hal yang seringkali luput dari pengamatan kaum perempuan yang memang mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Padahal, bagaimanapun juga, meski selalu tertutup oleh hijab, rambut tetap menjadi mahkota bagi perempuan.<br /><br /><strong>Pertama</strong>, yang harus dilakukan adalah rajin-rajin keramas. Bagi perempuan berjilbab, sebaiknya <strong>mencuci rambut</strong> 3-4 kali dalam seminggu menggunakan sampo yang sesuai dengan jenis rambut. Jangan lupa gunakan setum anti rontok seperti hair tonic. Ini karena rambut yang tertutup jilbab rawan mengalami kerontokan. Untuk rambut kering, tambahkan vitamin. Sementara untuk rambut berminyak, sebaiknya hindari sampo 2in1. Lebih baik gunakan conditioner secara terpisah di ujung helai rambut.<br /><br /><strong>Kedua</strong>, gunakan <strong>sisir</strong> bergigi jarang setelah keramas. Jangan gunakan sikat gigi sebab akan semakin menyebabkan rambut rontok.<br /><br /><strong>Ketiga</strong>, <strong>keringkan rambut</strong> secara alami. Kalaupun terpaksa menggunakan hair dryer, gunakan pada jarak 20 centimeter dari kulit kepala dengan suhu terendah.<br /><br /><strong>Keempat</strong>, sebaiknya jangan membiarkan rambut tumbuh terlalu <strong>panjang</strong>. Kalau ingin memiliki rambut panjang, sebaiknya tidak lebih dari 60 centimeter. Bagi yang berambut panjang, usahakan rambut selalu dalam keadaan terurai saat tidak mengenakan jilbab di dalam rumah, sehingga rambut bisa bernapas. Bila terpaksa mengikat, jangan gunakan ikat rambut yang terlalu kencang.<br /><br /><strong>Kelima</strong>, pilih <strong>kerudung</strong> yang terbuat dari bahan berpori dan tidak terlalu tipis. Hindari warna gelap yang menyerap panas sehingga menyebabkan kulit kepala semakin lembab. Selain itu, pemakaian kerudung sebaiknya dilepas hingga menutup dada untuk optimalisasi ventilasi. Model jilbab yang ujung-ujungnya dililitkan pada leher memang rapi dan trendi. Tapi kelemahannya jika terlalu kencang akan membuat rambut sulit bernapas dan kulit kepala menjadi sangat lembab, sehingga memperbesar kemungkinan rambut rontok.<br /><br />Sedikit komentar dari saya, tips nomor lima ini tampaknya sangat sesuai dengan firman yang terdapat dalam Q.S Al Ahzab : 59<br />”<em><strong>Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang</strong></em>”.<br />Satu bukti bahwa ayat Allah selalu memberi manfaat bahkan sampai hal terkecil sekalipun, seperti masalah kerontokan rambut, bagi umat-Nya, bukan? Wallahualam bishawab.<br /><br /><strong>Terakhir,</strong> makan makanan <strong>bergizi</strong> sangat penting untuk menjaga kesehatan kulit kepala.<br /><br />Semoga bermanfaat... (^_^)ajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8610857637144384899.post-76211011980660302092007-10-21T22:08:00.000-07:002008-06-07T22:02:11.753-07:00RumahYa Tuhan..<br />sekali lahi saya merobohkannya. Sebuah rumah megah. Berdiri sekian lama. Beralaskan permadani, memastikan saya nyaman di dalamnya. Berhiaskan taman dan bunga-bunga membuat saya tak bosan memandangnya. Ditambah kursi sofa, yang akan membuai dengan lembut siapa pun yang duduk di atasnya. Gagah dan memberikan rasa lapang. Dengan puluhan pengawal yang akan bersorak menyambut kedatangan saya. Ke rumah itu, yang telah menunggu kehadiran saya begitu lama. Namun kali ini tak tersisa. Maafkan saya..<br /><br />Karena saya telah memilih. Rumah untuk pulang. Tempat saya istirahat saat lelah.<br /><br />Sebuah rumah sederhana. Kecil, dan mungkin masih ada atap yang bocor di salah satu sudutnya. Saya belum terlalu lama memeriksanya. Tapi saya akan membuatnyamenjadi besar. Menutup atapnya yang berlubang dengan segala cara. Mengecatnya dengan berbagai warna. Berharap dapat berlindung dari teriknya matahari dan derasnya hujan. Berharap dapat menjadi tempat menghimpun energi dan semangat untuk melangkah menghadapi dunia esok hari. Semoga sajaajenghttp://www.blogger.com/profile/04575433676774910685noreply@blogger.com3