Saya tarik napas dalam-dalam. Mencoba memasukkan sebanyak-banyaknya udara. Merasakannya masuk dalam paru-paru, dan membiarkan oksigen memenuhi otak saya.
Saya nikmati setiap belaian lemut angin yang berhembus lembut. Menyentuh wajah yang baru saja dibilas. Segar.
Saya cium aroma dedaunan. Saya dengar lekat-lekat gesekan daun kering di tanah, terinjak kaki manusia yang melangkah melewatinya.
Saya akan merindukan tempat ini. Saangaat merindukan tempat ini.
***
Saya nikmati sentuhan itu. Belaian lembut tangan lelaki separuh baya. Mengusap kepala yang tertutup jilbab ini. Saya angkat tangannya, menggenggam dan merapatkannya ke hidung. Sebuah cara untuk mendapatkan restu yang bukan sekadar tradisi. Berharap do'a yang keluar dari bibirnya akan selalu mengiringi langkah saya.
Tak ingin saya lepaskan pelukan perempuan di depan saya. "Hati-hati," bisiknya. Saya hanya mampu mengangguk pelan. Hanya ucapan salam yang mengantarkan kepergian saya.
Langkah kaki saya terasa berat. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Saya buka pintu mobil, duduk, dan memasng sabuk pengaman. Perasaan saya tidak enak. Sahabat di sebelah saya berkata, "Sudah, tenanglah".
Ternyata saya ketinggalan kereta.
***
Saya lambaikan tangan. Memanggil taksi yang melintas di jalan raya tempat saya berdiri. Pintu terbuka. "Ke Karangwismo, Pak," kata saya. Selama beberapa menit berikutnya saya biarkan suasana tetap hening.
Sopir taksi mencoba memecahkan keheningan yang saya ciptakan. "Lewat Wonokromo, mbak?" tanyanya. "Iya," jawab saya singkat. Saat itu yang saya inginkan hanyalah segera sampai dan kembali melanjutkan hidup. Tidak ingin saya tangisi hati yang tertinggal.
Kembali sopir taksi memecah lamunan saya. "Maaf, ini lewat Kertajaya ya,mbak?". "Iya," jawab saya lagi. Tidak nyaman juga ternyata hanya berdiam diri. Saya pun meneruskan pembicaraan dengan sopir, dengan pertanyaan yang cukup basi,"Surabaya masih sepi ya, Pak?".
Pembicaraan pun berlanjut. Dari situasi Surabaya, sampai isu paling up to date: mudik. Bapak yang ternyata asli Madiun itu bercerita juga banyak tentang keluarga dan pekerjaannya. Sayang saya lupa melihat tulisan yang tertera di tanda pengenalnya.
Sudah dua ahun ini dia tidak pulang ke Madiun. Orang tua sudah tidak ada, katanya. Sehingga tidak ada lagi yang mempersatukan perasaan anggota keluarga yang lain. "Padahal biasanya kalau ada ibu ya mbak, semua permasalahan rasanya hilang. Walaupun cuma melihat beliau saja, rasanya sudah tidak ada masalah lagi. Tapi sekarang saya sudah tidak bisa lagi," ceritanya.
Saya mengangguk. Mungkin itulah jawaban mengapa pulang ke rumah menjadi perjalanan yang paling saya nantikan. Mengapa meski hanya satu detik saja, tak ingin saya memejamkan mata saat berada di rumah. Sebab saya tahu semua masalah hilang disana. Tempat yang selalu saya rindukan, dimana selalu ada orang-orang yang merindukan saya. Dengan tulus.
karena rindu
dunia terasa sepi
tapi karena dirindukan
dunia begitu berarti
(Andi Eriawan, Ruang Rindu)
Sopir taksi mencoba memecahkan keheningan yang saya ciptakan. "Lewat Wonokromo, mbak?" tanyanya. "Iya," jawab saya singkat. Saat itu yang saya inginkan hanyalah segera sampai dan kembali melanjutkan hidup. Tidak ingin saya tangisi hati yang tertinggal.
Kembali sopir taksi memecah lamunan saya. "Maaf, ini lewat Kertajaya ya,mbak?". "Iya," jawab saya lagi. Tidak nyaman juga ternyata hanya berdiam diri. Saya pun meneruskan pembicaraan dengan sopir, dengan pertanyaan yang cukup basi,"Surabaya masih sepi ya, Pak?".
Pembicaraan pun berlanjut. Dari situasi Surabaya, sampai isu paling up to date: mudik. Bapak yang ternyata asli Madiun itu bercerita juga banyak tentang keluarga dan pekerjaannya. Sayang saya lupa melihat tulisan yang tertera di tanda pengenalnya.
Sudah dua ahun ini dia tidak pulang ke Madiun. Orang tua sudah tidak ada, katanya. Sehingga tidak ada lagi yang mempersatukan perasaan anggota keluarga yang lain. "Padahal biasanya kalau ada ibu ya mbak, semua permasalahan rasanya hilang. Walaupun cuma melihat beliau saja, rasanya sudah tidak ada masalah lagi. Tapi sekarang saya sudah tidak bisa lagi," ceritanya.
Saya mengangguk. Mungkin itulah jawaban mengapa pulang ke rumah menjadi perjalanan yang paling saya nantikan. Mengapa meski hanya satu detik saja, tak ingin saya memejamkan mata saat berada di rumah. Sebab saya tahu semua masalah hilang disana. Tempat yang selalu saya rindukan, dimana selalu ada orang-orang yang merindukan saya. Dengan tulus.
karena rindu
dunia terasa sepi
tapi karena dirindukan
dunia begitu berarti
(Andi Eriawan, Ruang Rindu)
hiks... hiks... kok mengharukan ya mbak ajeng.. (;_;)
ReplyDeletesaya kadang2 nggak ngerti kalo kamu tuu... sebenernya punya sisi mellow, yang ehm...
wes ta mbak ajeng, nggak perlu feel mellow, sekarang mungkin memang saatnya bagimu untuk berjuang, dan melewati ssat2 yang sulit..
nggak perlu khawatir non, toh kamu punya orang2 yang sayang kamu, yang akan selalu mendukungmu, apapun yang kamu lakukan, ya kan..???
well, in terms of relationship, sharing and compromising are the best... so, don't afraid and don't hesitate to share every parts of ur life..
(weleh... panjang ya bow... ngomong eh nulis opo wae aku iki... out of topic euy, hehheee)
keep fight!! p(^_^)q
i truly wanna give a comment
ReplyDeletebut 'it' locks my fingers