Dalam kereta ekonomi Rapih Dhoho tujuan Kediri, saya pikir saya termasuk orang paling sabar. Saat itu hampir semua orang mengeluh, kereta yang seharusnya berangkat pukul 15.47 dari Stasiun Gubeng, kemudian melanjutkan perjalanan ke Stasiun Semut untuk ganti lokomotif, molor tak kurang dari satu jam. Penyebabnya bisa jadi karena ada masalah teknis atau karena banjir, karena memang hujan lebat baru saja mengguyur Surabaya beberapa saat sebelumnya.
Kereta terasa pengap karena ratusan penumpang saling berdesakan. Belum lagi lantai gerbong yang tergenang air. Lampu gerbong yang mati menambah keruh keadaan. Seorang perempuan setengah baya di samping saya tak henti-hentinya menggerutu. Saya? Hanya bisa menucapkan istighfar beribu kali untuk menenangkan hati dan mendinginkan kepala yang rasanya seperti mau pecah. Saat itu saya merasa berada pada puncak kesabaran, hingga saya dapati seorang perempuan awal tiga puluhan masuk gerbong yang saya tumpangi dengan dua anaknya yang masih kecil.
Tangan kirinya membawa tas hitam kecil sekaligus menggendong anaknya yang baru berusia sepuluh bulan. Sementara tangan satunya menarik travel bag ukuran sedang serta menggandeng anak lelakinya yang lebih besar. Dan perempuan itu duduk di sebelah saya.
Selama perjalanan, si anak lelaki tak pernah berhenti bertingkah. Hiperaktif mungkin, itu menurut saya sih. Dia selalu mengeluarkan kepalanya melalui jendela dengan tumpuan kaki di (saya kurang tahu istilahnya) meja kecil yang menempel pada dinding kereta. “Lihat, banjir ma,” ucapnya. Bukan hanya saya, orang-orang yang melihat merasa miris, khawatir jika si bocah hiperaktif tergelincir dan jatuh keluar kereta. Sementara itu, si kecil tak henti-hentinya menangis karena kepanasan.
Apa yang dilakukan perempuan itu? Dengan penuh sikap keibuan, ia menyusui si kecil sambil mengipasinya. Di sela-selanya, ia menegur anak lelaki, menanyakan apa yang dilihatnya di luar. “Tidak ada apa-apa ma,” jawab si bocah. “Ya sudah, tidak ada apa-apa kan? Turun ya, nak!” ujar perempuan itu tanpa memaksa.
Selama hampir dua jam perjalanannya ke Stasiun Sumobito, yang dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam, tidak terdengar kata-kata bernada keras keluar dari mulutnya. Bahkan ketika si kecil sudah mulai terlelap di pelukan tangan kirinya, tangan kanannya masih mampu menjaga bocah lelaki yang tetap berdiri dan menjulurkan kepala keluar. Sesekali tampak keduanya tertawa.
Hingga saat kereta berhenti di Stasiun Sumobito, perempuan itu turun membawa semua bawaan dan si kecil yang tertidur serta si bocah yang mulai mengantuk di gandengan. Tak terlihat seorang lelaki pun yang membantu meringankan bebannya. “Kemana bapaknya?” Mungkin itu menjadi pertanyaan yang berkecamuk di pikiran penumpang lain yang melihatnya. Termasuk saya.
Saat itulah saya merasa malu. Ternyata kesabaran saya belum seberapa.
Kereta terasa pengap karena ratusan penumpang saling berdesakan. Belum lagi lantai gerbong yang tergenang air. Lampu gerbong yang mati menambah keruh keadaan. Seorang perempuan setengah baya di samping saya tak henti-hentinya menggerutu. Saya? Hanya bisa menucapkan istighfar beribu kali untuk menenangkan hati dan mendinginkan kepala yang rasanya seperti mau pecah. Saat itu saya merasa berada pada puncak kesabaran, hingga saya dapati seorang perempuan awal tiga puluhan masuk gerbong yang saya tumpangi dengan dua anaknya yang masih kecil.
Tangan kirinya membawa tas hitam kecil sekaligus menggendong anaknya yang baru berusia sepuluh bulan. Sementara tangan satunya menarik travel bag ukuran sedang serta menggandeng anak lelakinya yang lebih besar. Dan perempuan itu duduk di sebelah saya.
Selama perjalanan, si anak lelaki tak pernah berhenti bertingkah. Hiperaktif mungkin, itu menurut saya sih. Dia selalu mengeluarkan kepalanya melalui jendela dengan tumpuan kaki di (saya kurang tahu istilahnya) meja kecil yang menempel pada dinding kereta. “Lihat, banjir ma,” ucapnya. Bukan hanya saya, orang-orang yang melihat merasa miris, khawatir jika si bocah hiperaktif tergelincir dan jatuh keluar kereta. Sementara itu, si kecil tak henti-hentinya menangis karena kepanasan.
Apa yang dilakukan perempuan itu? Dengan penuh sikap keibuan, ia menyusui si kecil sambil mengipasinya. Di sela-selanya, ia menegur anak lelaki, menanyakan apa yang dilihatnya di luar. “Tidak ada apa-apa ma,” jawab si bocah. “Ya sudah, tidak ada apa-apa kan? Turun ya, nak!” ujar perempuan itu tanpa memaksa.
Selama hampir dua jam perjalanannya ke Stasiun Sumobito, yang dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam, tidak terdengar kata-kata bernada keras keluar dari mulutnya. Bahkan ketika si kecil sudah mulai terlelap di pelukan tangan kirinya, tangan kanannya masih mampu menjaga bocah lelaki yang tetap berdiri dan menjulurkan kepala keluar. Sesekali tampak keduanya tertawa.
Hingga saat kereta berhenti di Stasiun Sumobito, perempuan itu turun membawa semua bawaan dan si kecil yang tertidur serta si bocah yang mulai mengantuk di gandengan. Tak terlihat seorang lelaki pun yang membantu meringankan bebannya. “Kemana bapaknya?” Mungkin itu menjadi pertanyaan yang berkecamuk di pikiran penumpang lain yang melihatnya. Termasuk saya.
Saat itulah saya merasa malu. Ternyata kesabaran saya belum seberapa.
ajeng..terima kasih dah ninggalin jejak di blog ku :) Btw, membaca tulisan "Perempuan Dalam Kereta" terlihat sangat jelas potensimu untuk jadi penulis hebat. Mungkin nanti kamu musti nyoba nulis fiksi, entah cerita pendek atau bahkan novel.Ayo maju terus !
ReplyDelete