Showing posts with label Sahabat. Show all posts
Showing posts with label Sahabat. Show all posts

Sunday, December 18, 2011

Menikahlah, kawan!

Entah kenapa tiba-tiba saya tergerak untuk menulis tentang ini.

Ketahuilah kawan, laki-laki itu, tanpa bermaksud menggenalisir, sebelum mereka terikat oleh ikatan yang sah, tidak akan pernah setia. Kenapa? Karena mereka sedang memilah dan memilih, mana yang nantinya akan baik untuk menjadi pendamping.

Saya adalah orang beruntung yang dahulu kala sering menjadi tempat curhat teman-teman lelaki. Katanya sudah terikat janji dengan si ana yang secara fisik cantik, tapi di sisi lain masi minta dikenalin sama si anu yang secara fisik lebih cantik. Maka, sedikit banyak saya bisa menganalisis tindak tanduk para kaum adam ini.

Biasanya laki-laki yang seperti saya sebutkan di atas punya banyak kelebihan. Banyak dari mereka yang sebenarnya tidak ganteng, bahkan sama sekali tidak ganteng. Tapi mereka cukup pandai berkomunikasi. Mereka sangaaaat nyambung diajak ngomong apapun. Apapun!

Nah biasanya pula, para perempuan lebih suka didekati oleh para lelaki yang enak diajak ngobrol apapun, daripada ganteng tapi agak telmi. Maka kloplah keduanya saling bertemu.

Maka, bagi kawan-kawanku, perempuan-perempuan nan mulia, menikahlah! Menikahlah dengan lelaki yang mendekatimu bukan HANYA karena kalian tampil menarik. Bukan pula HANYA karena saling cocok dalam obrolan. Atau malah HANYA karena memiliki weton yang membawa keberuntungan!

Tapi diantara para lelaki yang mendekatimu, pilihlah mereka yang meminangmu karena ingin menyelamatkanmu dan mengangkat martabatnya. Yang memilihmu karena ingin menyelamatkan agamamu dan agamanya. Yang mengajakmu bersama berjuang melahirkan generasi-generasi tangguh.

Dan, bagi kalian para lelaki yang sedang mencari cinta. Berlomba-lombalah untuk mematutkan diri mendapatkan para bidadari yang bersiap untuk kau ajak berperang menuju syahid dalam perahu rumah tangga!

Friday, April 24, 2009

Jenuh

Sayang,
Tahukah kau, aku rindu
semua yang kulalui di masa lalu
saat tak terbebani dengan deadline kawin karena usia yang menua
(hey bukannya baru 24?)
tak harus bertanggung jawab terhadap gaji tiap tanggal dua lima
tak merasa sepi karena tak ada siapapun di sini

Sayang,
aku rindu masa lalu ku
seandainya waktu bisa ku atur
semauku
maka aku akan berhenti di tiga tahun yang lalu

Teman-temanku sayang,
Tahukan kau, tak enak hidup di kota asing sendiri
dan kau hanya mendapati kau tak bisa mengendalikan semua
seperti persis yang kau inginkan
sehingga semua terasa nyaman, bagimu

Maka rebutlah waktu, kawan
meski ada satu titik dimana kita harus pasrah dengan keadaan
tak berarti menyerah, bukan?

(dedicate to my housemate in Surabaya, if you know how much I long for you...)

Tuesday, January 6, 2009

Bantal

Aku lelah. Mataku berat. Kepalaku pening luar biasa. Aku benar-benar mengantuk.

Lalu ku buka pintu kamar dengan semangat. Ada yang aneh saat kupandangi kasur bergambar Winnie the Pooh itu. Bantalku tak ada. Aku tak berdaya.

Kemanakah bantalku? Satu-satunya barang berharga yang bertengger di atas kasurku. Tak biasa-biasanya ia menghilang. Atau adakah yang berani mengambilnya dariku? Ah, kurasa tidak.

Tapi kemana?

Bantalku menghilang.

Aku tak bisa bersandar.

Malam ini.

***

AKU : Sayang, bolehkah aku bersandar sekaliiiii saja. Tanpa aku meminta?
KAU : Cinta, belum cukupkah belaian, pelukan, dan kemanjaan yang kuberi padamu?
AKU : Sayang, aku hanya ingin bersandar. Sekaliiiii saja. Tanpa harus meminta.
KAU : Cinta, bulan pun akan aku ambilkan jika kau meminta.
AKU : Sayang. Aku tak ingin bulan. Aku hanya ingin bersandar.
KAU : Cinta, apapun yang kau minta…
AKU : Sayang. Kali ini aku tak ingin meminta. Sekaliii saja.
KAU : Lalu, cinta?
AKU : Aku hanya ingin bersandar. Tanpa meminta.
KAU : …… ….
AKU : …….. …

***

Itulah mengapa Venus tak pernah berjalan berdampingan dengan Mars. Karena Mars tak pernah mengerti apa yang diinginkan Venus. Sementara Venus tak pernah tahu bagaimana cara menyampaikan maksudnya pada Mars. Tanpa meminta. Gerak mereka terlalu berbeda untuk diisyaratkan dalam satu bahasa yang sama. Namun mereka tetap indah berputar sesuai orbitnya.

(Kamar Kos, Selasa 6 Januari 2009, 23.32 WIB. Gara-gara tak bisa tidur, dan terinspirasi sebuah sms yang menggunakan kata “belum cukupkah” dari nomor 0818040xxxxx)

Saturday, June 7, 2008

You're Amazing

“Bisa nggak ya?”

Ah, keluhan yang beberapa waktu terakhir kerap saya dengar. Sahabat saya itu, seorang calon sarjana komputer salah satu universitas negeri terbesar di Indonesia yang sedang resah sebab tugas akhir yang tak kunjung kelar. Ditambah bonus beberapa mata kuliah yang masih diulangnya, karena IPK belum mencapai target yang dia inginkan.

Sahabat saya itu mungkin tidak sangat istimewa. Penampilannya juga biasa-biasa saja. Tak pernah saya mendengarnya berbicara tentang kelebihannya. Tapi dari setiap diskusi yang acap kami lakukan saya tahu ada potensi besar dalam dirinya. Semangatnya besar. Adakalanya saya bisa melihat kobaran api dalam matanya saat ia bertutur. Pantas saja, sebab dia penah duduk di satu jabatan penting dalam sebuah organisasi, dulu.

Debat panjang tentang agama pun tak jarang kami lakukan. Saya jelas tak mau kalah. Berpegang pada pandangan-pandangan sederhana saya tentang persoalan agama, saya selalu ngeyel. Sayangnya, referensi saya memang terlalu sedikit, sehingga lebih sering saya diam saja mendengar teori-teorinya, juga cerita pengalaman praktisnya.

Sebaliknya, di satu waktu dia tampak begitu pesimis. Tak ada api dalam matanya yang kecil. Seolah dunia jadi beban di pundaknya. Dan bagi saya, kadangkala itu wajar dirasakan oleh anak pertama seperti dia, dan juga saya.

“Aku gak pengen mengecewakan ibu, dan orang-orang yang kusayang,”. Begitu katanya dalam sebuah percakapan kami di telepon. Hmmm... bagus juga niatmu, pikir saya waktu itu. Mereka pasti bangga mendengar kata-kata itu. Tapi saya cuma diam dan manggut-manggut.

Perasaan yang sama pernah saya rasakan tepat setahun lalu. Waktu itu saya sedang dikejar deadline skripsi. Sama seperti dia, keragu-raguan selalu hinggap dikepala saya. Membisiki dan menghantui tidur saya.

Parahnya, semua kesalahan yang ada di skripsi seolah terbongkar di depan mata saya tepat seminggu sebelum jadwal pengumpulan terakhir. Fatal lagi. Saya stress. Bingung. Mau merubah rumusan masalah, berarti saya membongkar seluruh skripsi. Mau merubah analisis, hueekksss perut saya sudah mual mendengar kata tersebut. Belum lagi air mata yang terus menetes setiap orang rumah menelepon. Malu sebenarnya, tapi sudah tidak nahan.

Menghubungi dosen akhirnya jadi pilihan terakhir. Untung dosen saya orang yang bijak dan mau bekerjasama. Buktinya, ditelepon malam-malam untuk curhat masalah skripsi beliau tetap available. Walaupun, kata teman-teman, beliau bukan pakar pada metode yang saya ambil. Pernah suatu kali saya bertanya tentang parameter yang jelas tentang Reception Analysis, metode yang saya gunakan dalam skripsi. Maksud hati ingin mengajak beliau berdiskusi, namun beliau malah bertanya balik, “Apa ya? Menurutmu apa?,” Glodak.

Saya sih maklum saja. Beliau memang bukan ahli metodologi, bukan pula pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, namun seorang praktisi gender. Sementara skripsi saya blas tidak ada sangkut pautnya dengan gender. Dan saya berani mengacungkan empat jempol untuk pemikiran-pemikiran beliau tentang permasalahan gender di Indonesia, disamping cara beliau memotivasi mahasiswa bimbingannya yang sedang diambang kehancuran, seperti saya.

Itu tentang saya. Keraguan yang sama, saya yakin, pasti dialami mereka yang berada pada fase seperti tersebut, termasuk sahabat saya itu. Keluarga dan orang-orang terdekat, pada fase seperti itu, benar-benar terasa memiliki peran penting untuk membangun motivasi. Bila setahun yang lalu sahabat saya itu pernah memberi dorongan pada saya walau sebatas SMS, kini bagian saya yang push forward. Yah, tidak banyak tentunya sebab saya buta tentang pemrograman. Saya juga cuma bisa berkata:

Sahabat, you are amazing, more than what you think you are.

Thursday, December 6, 2007

Semoga


Seorang lelaki di seberang lautan saat ini mungkin sedang menangis. Tidak. Mungkin dia hanya bersedih. Mencoba tegar, membangun harapan baru, dan kembali melanjutkan hidupnya.

Hatinya mungkin teriris saat membaca sms balasan dari saya. Tidak banyak yang saya tahu. Hanya sedikit berita tentang gadis pujaannya yang akan menikah, tak lama.

Bahkan untuk meyakinkannya pun saya berusaha mencari kebenaran, atas permintaannya. Sayang, saya tak berhasil mendapatkannya. Hanya secuil berita kurang lengkap dari seorang sahabat lama. Mungkin tak mampu memuaskannya, hingga lelaki itupun bertekad mencari kebenaran untuk dirinya.

Dan saya tahu harapannya telah pupus. Saat sebuah sms masuk, sore itu.

Terimakasih ya Jeng. Semua sudah jelas. Dia memang mau menikah. Maaf sudah menganggumu. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Semoga Allah memberimu kekuatan.

Wednesday, June 6, 2007

traveler's tale

Ini bukan judul sebuah novel tentang perjalanan empat sahabat menuju ke kota Milan. Ini adalah kisah perjalanan saya dengan seorang teman, Merry, di kota Surabaya tercinta.

Minggu pagi, saya dan tiga teman kos saya, Merry, Anggita, dan, Anna sepakat pergi jalan-jalan dengan mengendari sepeda motor ke Laguna Indah. Sebuah kawasan perumahan elit di daerah Surabaya Timur. Sebelum ke Laguna, kami menyempatkan diri berkeliling ITS, kampus yang tidak pernah sepi dari para lelaki, hanya sekedar untuk cuci mata. Maklum, di kampus kami sangat jarang ditemukan cowok-cowok aneh seperti di ITS. Saya yang berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, dan ketiga teman saya di Jurusan Ekonomi hanya dapat menemukan cowok2 bergaya metro yang ah..neh lah menurut mata saya.

Setelah puas berkeliling di ITS kami pun melanjutkan perjalanan ke Laguna. Kawasan ini memang indah. Walaupun keindahannya hanya buatan tangan manusia. Tapi ya.. tidak bisa dipungkiri, memang indah. apalagi disini kami bisa memanjakan mata dengan melihat bangunan rumah elite dan membayangkan seandainya kami ada di dalamnya. Sebagai tuan rumah tentunya, bukan pembantu.

Kelelahan mengagumi bangunan indah di Laguna, Anggita dan Anna pun memutuskan untuk pulang. Tapi rasa lelah itu bukan berarti apa2 buat saya dan Merry. Kami berdua pun memutuskan melanjutkan perjalanan kami ke Pantai Kenjeran, dengan asumsi bahwa pantai kenjeran terletak tidak jauh dari Laguna. Meski buta dengan daerah sekitar kenjeran, kami tetap nekat dan membulatkan tekad untuk tetap pergi ke kenjeran.

Berbekal sedikit informasi bahwa untuk menuju kenjeran lebih baik melewati jalan mulyosari, saya dan Merry pun menyusuri jalan yang padat tersebut hingga ujung. Tepat di ujung jalan mulyosari kami mendpati sebuah plang bertuliskan Kenjeran, Suramadu, dantanda panah di bawahnya. "wah sudah dekat mer!" ucap saya pada meri yang menyetir di depan.

Kami pun menyusuri jalan yang ditunjuk tanda panah pada plang tadi. Setelah seberapa lama, kami menemukan sebuah plang bertuliskan jalan kenjeran. "wah sudah sampai" pikir saya.

Jalan kenjeran sudah kami lalui tapi kami tidak kunjung menemukan pantai kenjeran. Alih-alih sampai di pantai kenjeran, kami justru tiba di kya kya kembang jepun. Sebuah wilayah di Pecinan di Surabaya. Seingat saya, di peta kembang jepun itu berada di kawasan Surabya Utara, sedangkan kenjeran kan di Surabaya Timur? Sadar kami salh, kami pun mencari jalan untuk kembali ke jalan kenjeran. Setelah menemukan plang yang sama seperti kami lihat tadi, kami pun kembali menyusuri jalan kenjeran. alhasil, kami kembali lagi ke kya kya.

Ini adalah sebuah kebodohan. kesasar kok dua kali. pikir saya.

Lalu kami mencoba alternatif lain. Kami mengikuti plang yang bertuliskan arah menuju Jembatan Sura,adu, jembatan yang menghubungkan Surabya dan Madura yang hingga kini belum selesai pembangunannya. Kami pikir, Suramadu pasti melewati laut,jadi kami pasti menemukan pantai di sana.

Jalan menuju suramadu ternyata sangat panjang. Kami juga harus melewati jalan yang sempit, penuh dengan truk, dan pasar yang kumuh di pinggir jalan.

Lama-lama saya khawatir, kok tidak sampai juga. Tapi Merry mendinginkan hati saya. dia bilang" wes ta jeng, kita ikuti saja kemana air mengalir". saya pikir benar juga, karena air kan bermuara ke laut.

Lama berkendara, ternyata bukan laut yang kami temukan, melainkan sebuah bangunan jembatan yang belum selesai dibangun. Beruntung, kami menemukan salah satu sudut yang memperlihatkan keruhnya air laut. Ternyata kenjeran tidak berada di dekat suramadu. merasa putus asa, kami pun memutuskan untuk pulang.

Namun, jalan pulang ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Kami harus melewati jalan yang super sempit di sebuah perkampungan Madura. agak merinding sih, mengingat berbagai stereotipe yang seberikan pada orang2 suku madura. Walaupun kami belum pernah saya belum pernah membuktikannya, bahkan teman saya yang berasal dari madura sangat ramah. Tapi berada di perkampungan asing tetap menakutkan.

Akhirnya, setelah tiga jam berjuang keras melewati liku-liku jalan sempit di perkampungan madura, dengan berbekal ilmu gambling yang kami pelajari selama kuliah, kami pun bisa menemukan jalan yang cukup kami kenal dan tid di kos dengan sehat wal afiat, tidak kurang suatu apa, kecuali bensin yang langsung kosong...

Yah semoga kisah saya sebagai orang kesasar bisa menjadi pelajaran bagi anak2 saya kelak, bahwa tidak selamanya kita harus mengikuti arah aliran air..