Tuesday, May 6, 2008
Fela dan Dewi Persik
Kakak sepupu saya sedang gundah. Fela, anak gadisnya yang masih berusia 3 tahun sudah tak betah berada di rumah. Memang, setahun belakangan gadis kecil ini terus merengek minta sekolah kepada mamanya. “Aku tuh bosen loh ma kalo di rumah terus,” begitu rayunya.
Untuk anak seusianya, Fela tergolong cerdas. Sudah berapa puluh lagu yang ia hafal. Meski dia tak pernah tahu apa maksud dari liriknya, sebab hampir semuanya lagu orang dewasa. Diajari Bahasa Inggris pun tak susah. Sebelas angka dalam Bahasa Inggris sudah dihafalnya walaupun diucapkan dengan gaya cadel. Mengaji pun ia bisa. “Sudah sampe ka, ik!” katanya pada saya.
Bulan Juli tahun ini ia akan masuk sekolah. Belum TK, masih Playgroup. Kakak saya ingin agar anaknya beradaptasi dengan teman sebayanya terlebih dulu sebelum ia benar-benar merasakan sekolah.
Begitu banyak pilihan yang datang pada kakak sepupu saya. Maklum, perkembangan lembaga pendidikan berjalan cukup pesat di kota kecil seperti Magetan. Namun keinginan kakak saya tak pernah jauh dari satu hal: anaknya harus masuk sekolah Islam.
Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Selain pengetahuan ke-Islaman kedua orang tua yang pas-pasan, kakak saya ingin memastikan bahwa anaknya berada di tangan orang-orang yang dipercaya mampu memberikan ilmu agama, bahkan melebihi apa yang ia tahu. Apalagi, kedua orang tua Fela adalah orang sibuk. Mamanya, kakak sepupu saya, adalah sekretaris pribadi Bupati Magetan yang sedang menjabat saat ini. Sementara ayahnya adalah seorang mantri (begitu mereka mengistilahkan) Bank milik pemerintah. Kondisi pekerjaan mengharuskan mereka berangkat pagi dan pulang sore setiap harinya. Sementara saat mereka tak di rumah, Fela diurus oleh pembantu dengan pendidikan terakhir tamatan SMP.
Kesibukan kedua orang tua memang tak dapat menjadi pembenaran bahwa pendidikan anak menjadi urusan orang lain. Namun terkadang jika kondisi memaksa, penting untuk mencari orang-orang di luar keluarga dengan bekal pendidikan memadai sebagai supplier ilmu, selain yang diberikan oleh keluarga. Dan karena itulah kakak saya memilih memasukkan anaknya di salah satu sekolah Islam di kota saya. Bukan hanya agar Fela memiliki ilmu agama yang cukup, jauh melebihi itu, ia ingin agar Fela memiliki akhlakul karimah, akhlak yang mulia. Dan saya salah satu orang yang sangat mendukung keinginan kakak saya. Sebab sedikit banyak saya termasuk golongan penganut teori tabula rasa, meski yakin bahwa tetap ada campur tangan Tuhan di sana.
Kakak saya mungkin salah satu diantara sekian banyak orang yang percaya bahwa akhlak adalah dasar dari segala sesuatu. Akhlak bisa dibentuk dari kondisi lingkungan, termasuk budaya dan agama. Meski keberadaanya tak dapat diukur, namun saya yakin, semua orang memiliki standar yang sama tentang mana yang baik dan mana yang bukan. Semua orang dari suku apapun dan dari agama manapun.
Maka saya heran kepada media massa dan sekian banyak orang yang masih mempertanyakan mengapa para pimpinan daerah itu mencekal goyangan erotis Dewi Persik. Dengan dalih, masih banyak masalah besar yang harus mereka selesaikan seperti kemiskinan serta korupsi yang makin merajalela, tapi justru itu adalah hiburan bagi masyarakat kecil.
Oya?
Benar, goyangan para artis dangdut tersebut tidak akan menimbulkan kemiskinan. Juga bukan tindakan kriminal seperti korupsi. Namun tidakkah mereka sadar, bahwa goyangan yang tersaji di depan umum itu adalah layaknya virus yang langsung menyerang akhlak para penontonnya. Dan tidakkah mereka sadar, bahwa tindakan korupsi yang menjadi pemicu meningkatnya tingkat kemiskinan di Indonesia adalah karena para pemimpin itu tak memiliki akhlak mulia.
Maka bayangkan bagaimana Indonesia ketika akhlak manusia-manusianya telah terkena virus.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment