Monday, March 16, 2009
Ukuran memang Penting?
I was an I-don’t-care-what-size-are-you person. Yup, saya tidak pernah peduli seberapa besar badan saya. Bahkan saya dengan bangga menunjukkan pola makan yang naudzubillah pada dunia. Santai saja, memang begini adanya. Hingga…
Sabtu kemarin, seorang teman SMA sekaligus kos jaman kuliah dulu minta diantar belanja di Malioboro. Sepulang dari studi banding di Magelang bersama rombongan tim PNPM Magetan ia meminta saya memilihkan batik untuk kerja. Itu niat awalnya.
Niat hunting batik yang elegan di Mirota Batik luntur ketika kami melihat tulisan discount terpampang di Matahari Malioboro Mall. Meri yang sedang mengantongi banyak duit pesangon dari pemerintah langung saja menyerbu rak-rak bertumpuk pakaian wanita. Satu celana bahan dan kemeja kerja lengan pendek sudah berada dalam tas belanja. Satu demi satu rak pakaian kami singkap demi mendapatkan baju terindah dengan harga termurah. Sesuai prinsip ekonomi. Lalu sampailah kaki kami pada keranjang celana jeans merk Dual yang diobral dengan harga 69 hingga 79 ribu.
Dua celana jeans model pinsil warna biru belel ukuran M saya jinjing menuju ruang ganti. Sementara Meri membawa dua celana hitam dengan model dan ukuran berbeda. Satu model pinsil dengan ukuran S, lainnya model cutbray ukuran M.
“Satu kamar aja, Jeng. Biar bisa gantian nyobanya!” pinta Meri
Maka di ruang itulah saya baru menyadari, ternyata tubuh saya telah menggelembung sedemikian rupa. Meri dulunya adalah cewe oversize. Semua pakaian dia masuk di badan saya, tapi tidak sebaliknya. Tapi kali ini celana cutbray hitam ukuran M yang melekat pas di badan Meri, tak muat untuk saya. Ini mengindikasikan bahwa dunia telah berbalik.
“Wah, Jeng, ga nyangka sekarang kok aku bisa pake S ya?” entah menghina atau heran dengan tubuhnya sendiri, Meri berkata.
Tiga jam setelahnya, saya pulang dengan pertanyaan : emang badanku segitu gendutnya ya?
Sejak tinggal di Jogja angka timbangan saya memang naik. Sekitar 5 kilogram dalam kurun waktu 10 bulan. Sejauh ini saya tak pernah merasa risi. Bahkan mungkin saja sebenarnya pertambahan berat badan itu pertanda hati kita selalu bahagia. Saya juga cuek saja ketika orang-orang mulai berkomentar.
Si Kurus awalnya. Orang ini memang perhatian betul.
“Ya ampun, badan kok kayak gajah,” katanya dengan sangat sangat sangat dan sangat hiperbolis.
“Ah itu kan gara-gara kamu kurus aja, trus iri, makanya ngatain orang lain gendut,” saya menyangkal.
Lalu teman-teman kos saya.
“Mbak Ajeng gendutan ya. Tuh perutnya mulai buncit,”.
“Biarin lah, ini kan one pek,”.
Kemudian teman-teman kos saya di Surabaya dulu.
“Mbak Ajeng… pipinya tambah tembem aja,”.
“Ya kan tambah imut,” saya masih saja menyanggah
Ibu saya tak mau ketinggalan ikut berkomentar.
“Jeng, badannya kurusin dikit lah. Tar kalo mau nikah badanya gemuk gitu kan jelek,”.
“Loh justru kalo badannya agak gendut malah bagus buk, baju pengantinnya bisa pas badan, gak kelonggaran,” saya tetap mempertahankan diri.
Walaupun terkadang komentar-komentar mereka sedikit mengusik, tapi saya masih berpikir bahwa bagaimanapun my body is wonderland. Rasanya ingin protes juga sih. Emang kenapa kalo pipi saya chubby? Emang salah ya kalau lingkar perut semakin gede? Trus, kalau mau nikah, emang harus kurus dulu?
Meski terpukul juga sih sebenarnya, menyadari fakta bahwa ukuran M tak lagi muat, sungguh menyakitkan. Tapi ini kan badan saya! Diapa-apain kalau dari sananya dikasih pipi tembem ya terima aja. Dimana-mana juga, kalau berat badan naik lingkar perut ya bertambah. Hukum alam namanya. Diet? Tar ah kalau udah hampir mau nikah aja. Memang ukuran penting banget ya?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pentingkah??
ReplyDeleteehm, aku juga bertanya-tanya..
Tapi, penting po ra ya jeng???
(confused)
menurutku sih ga penting an..
ReplyDeletetapi mo gimana lagi,, secara umum orang2 kita niy masih menilai semuanya dari size
jadi jangan salahkan kalo pada ribut masalah size.
size is matter!!
huekss.... ga aku banget :p
jah..gajah...
ReplyDelete