Wednesday, June 25, 2008

Nah, lho...


Jadi cuma obsesi?
it's better for u not to expect too much, then...


Saturday, June 7, 2008

You're Amazing

“Bisa nggak ya?”

Ah, keluhan yang beberapa waktu terakhir kerap saya dengar. Sahabat saya itu, seorang calon sarjana komputer salah satu universitas negeri terbesar di Indonesia yang sedang resah sebab tugas akhir yang tak kunjung kelar. Ditambah bonus beberapa mata kuliah yang masih diulangnya, karena IPK belum mencapai target yang dia inginkan.

Sahabat saya itu mungkin tidak sangat istimewa. Penampilannya juga biasa-biasa saja. Tak pernah saya mendengarnya berbicara tentang kelebihannya. Tapi dari setiap diskusi yang acap kami lakukan saya tahu ada potensi besar dalam dirinya. Semangatnya besar. Adakalanya saya bisa melihat kobaran api dalam matanya saat ia bertutur. Pantas saja, sebab dia penah duduk di satu jabatan penting dalam sebuah organisasi, dulu.

Debat panjang tentang agama pun tak jarang kami lakukan. Saya jelas tak mau kalah. Berpegang pada pandangan-pandangan sederhana saya tentang persoalan agama, saya selalu ngeyel. Sayangnya, referensi saya memang terlalu sedikit, sehingga lebih sering saya diam saja mendengar teori-teorinya, juga cerita pengalaman praktisnya.

Sebaliknya, di satu waktu dia tampak begitu pesimis. Tak ada api dalam matanya yang kecil. Seolah dunia jadi beban di pundaknya. Dan bagi saya, kadangkala itu wajar dirasakan oleh anak pertama seperti dia, dan juga saya.

“Aku gak pengen mengecewakan ibu, dan orang-orang yang kusayang,”. Begitu katanya dalam sebuah percakapan kami di telepon. Hmmm... bagus juga niatmu, pikir saya waktu itu. Mereka pasti bangga mendengar kata-kata itu. Tapi saya cuma diam dan manggut-manggut.

Perasaan yang sama pernah saya rasakan tepat setahun lalu. Waktu itu saya sedang dikejar deadline skripsi. Sama seperti dia, keragu-raguan selalu hinggap dikepala saya. Membisiki dan menghantui tidur saya.

Parahnya, semua kesalahan yang ada di skripsi seolah terbongkar di depan mata saya tepat seminggu sebelum jadwal pengumpulan terakhir. Fatal lagi. Saya stress. Bingung. Mau merubah rumusan masalah, berarti saya membongkar seluruh skripsi. Mau merubah analisis, hueekksss perut saya sudah mual mendengar kata tersebut. Belum lagi air mata yang terus menetes setiap orang rumah menelepon. Malu sebenarnya, tapi sudah tidak nahan.

Menghubungi dosen akhirnya jadi pilihan terakhir. Untung dosen saya orang yang bijak dan mau bekerjasama. Buktinya, ditelepon malam-malam untuk curhat masalah skripsi beliau tetap available. Walaupun, kata teman-teman, beliau bukan pakar pada metode yang saya ambil. Pernah suatu kali saya bertanya tentang parameter yang jelas tentang Reception Analysis, metode yang saya gunakan dalam skripsi. Maksud hati ingin mengajak beliau berdiskusi, namun beliau malah bertanya balik, “Apa ya? Menurutmu apa?,” Glodak.

Saya sih maklum saja. Beliau memang bukan ahli metodologi, bukan pula pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi, namun seorang praktisi gender. Sementara skripsi saya blas tidak ada sangkut pautnya dengan gender. Dan saya berani mengacungkan empat jempol untuk pemikiran-pemikiran beliau tentang permasalahan gender di Indonesia, disamping cara beliau memotivasi mahasiswa bimbingannya yang sedang diambang kehancuran, seperti saya.

Itu tentang saya. Keraguan yang sama, saya yakin, pasti dialami mereka yang berada pada fase seperti tersebut, termasuk sahabat saya itu. Keluarga dan orang-orang terdekat, pada fase seperti itu, benar-benar terasa memiliki peran penting untuk membangun motivasi. Bila setahun yang lalu sahabat saya itu pernah memberi dorongan pada saya walau sebatas SMS, kini bagian saya yang push forward. Yah, tidak banyak tentunya sebab saya buta tentang pemrograman. Saya juga cuma bisa berkata:

Sahabat, you are amazing, more than what you think you are.