Wednesday, September 26, 2007

Kriya logam, seni yang kurang diminati


SURABAYA-Tidak banyak orang tahu tentang kriya logam. Sebuah bentuk karya seni yang menggunakan logam seperti perak, tembaga, ataupun kuningan sebagai obyeknya.

Indah Chrrysanti Angge, seniman kriya logam lulusan Institut Seni Indonesia mencoba memperkenalkan sebuah bentuk lain dari kriya seni yang belum dikenal sebagian masyarakat tersebut. Melalui pameran tunggalnya yang digelar di Gallery House of Sampoerna sejak akhir bulan lalu.

“Peminat logam kurang banyak,”. Alasan tersebut dilontarkan perempuan yang akrab dengan sapaan Santi tersebut kepada Duta kemarin (26/9), menanggapi keberadaan karya seni dari logam yang selama ini masih kurang diketahui masyarakat luas.

Kurangnya peminat terhadap salah satu bentuk seni terapan ini dikatakan Santi sebab teknik pengerjaannya seperti tukang. Untuk menghasilkan sebuah kriya logam membutuhkan proses mematah dan mematri laiknya seorang tukang besi. Itu sebabnya jenis kriya ini kurang diminati, “Apalagi perempuan,” tambahnya.

Menurut Santi, kurangnya kesadaran dari masayarakat terhadap eksistensi kriya logam sebab minimnya pengetahuan masyarakat terhadap kriya seni logam itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan keberadaan kriya logam tidak terkenal seperti bentuk karya seni lainnya semisal kerajinan keramik dan tekstil. “Orang yang menekuni (kriya logam) tidak ada yang muncul,” tuturnya.

Di samping itu, menurut Santi, orang masih awam dengan istilah ‘kriya’, yang berarti dikerjakan dengan tangan.Selama ini, sebagian orang masih menganggap kriya logam tidak lebih dari sebuah kerajinan tangan, bukan sebuah karya seni. Padahal, menurut seniman yang juga bekerja sebagai tenaga pengajar Jurusan Senirupa Universitas Negeri Surabaya ini, karya seni berbahan dasar logam sudah ada sejak jaman kerajaan. “Keris, itu juga termasuk kriya logam adiluhung. Trus di Jogja ada namanya torak jogja,” ungkapnya.

Kriya logam sendiri merupakan salah satu bentuk applied art atau seni terapan. Sebagai sebuah karya seni terap, kriya logam harus berinteraksi dengan benda lain yang hadir dalam sebuah penataan ruang. Oleh sebab itulah Santi memajang karyanya dalam bentuk penataan ruangan layaknya rumah tinggal.

Ditambahkan Santi, dalam menciptakan sebuah karya seni dari logam, banyak hal yang harus dipahami. Sifat logam misalnya. Penguasaan sifat logam sebagai bahan dasar beserta pengolahannya mutlak dimiliki oleh seniman logam. Selain itu, kontrol terhadap emosi juga harus dilakukan ketika seorang seniman sedang mengukir sebuah logam. “Kalau emosi naik, bisa patah logamnya,” katanya. Namun, dirinya mengaku, meski memiliki sifat keras, logam termasuk bahan yang mudah dalam proses pembentukannya

Dalam pameran tunggalnya yang bertema Sekar Kedhaton ini Santi banyak mengambil inspirasi dari bunga melati. Logam yang dipilihnya adalah kuningan dan tembaga. Seluruh ukiran logam dalam karyanya, seperti topeng, panel dua dimensi, sampai dinner set berhiaskan motif bunga melati. “Karena saya merasa bunga melati itu kan bunga bangsa kemudian diekspresikan dalam bentuk karya seni,” ungkap perempuan asli Malang tersebut. (aje)

Monday, September 24, 2007

Perempuan Tak Lagi Harus Menunggu


Membina sebuah rumah tangga yang harmonis bersama pasangan yang dicintai merupakan impian setiap perempuan. Bagi sebagian perempuan, mewujudkan impian tersebut merupakan hal yang mudah. Namun bagi perempuan lain, menaklukan hati laki-laki pujaan mungkin menjadi sebuah persoalan besar.

“Banyak alasan yang menyebabkan pria pelit mengeluarkan kata-kata pinangan,”. Demikian dituturkan Ratih Andjayani Ibrahim dalam talkshow bertema ‘Sampai Kapan harusMenunggu’ yang diselenggarakan Arisan Senin Citra (ASC) Senin kemarin (24/9).

Alasan pertama adalah karena sebagian laki-laki merasa usia mereka masih terlalu muda untuk melakukan pernikahan. Alasan tersebut mendasari penolakan mereka untuk segera menikah. “Padahal usia laki-laki boleh menikah adalah 18 tahun sedangkan perempuan 16 tahun,” jelas Ratih. Namun, pada usia ini laki-laki dan perempuan yang mau menikah harus mengantongi ijin dari orang tua.

Alasan kedua yang menghambat pernikahan adalah sebab seringkali laki-laki merasa belum cukup mapan baik dari segi emosional, sosial, maupun secara finansial. Selain itu, laki-laki juga masih ingin mengaktualisasikan diri sampai pada puncak kehidupannya Hal itu biasanya disebabkan karena masih banyak hal yang ingin diraih oleh para laki-laki tersebut. “Si laki-laki merasa ada hal lain yang menjadi prioritas, sehingga pernikahan dirasa menjadi faktor penghambat mereka,” tambahnya.

Perasaan nyaman terhadap kehidupan membujang juga menjadi alasan lain mengapa laki-laki sulit mengucapkan kata-kata pinangan. “Sebagian pria merasa nyaman dengan kehidupannya. Punya pekerjaan bagus dan punya pacar. Lalu mengapa harus ke jenjang lebih lanjut?” kata Ratih.

Sedangkan yang terakhir adalah sebab sebagian laki-laki merasa ragu membayangkan segala konsekuensi pernikahan.

Banyaknya faktor pengahambat seorang laki-laki untuk menikahi perempuan tidak harus disikapi secara pasif oleh perempuan. Menurut Ratih, sekarang sudah saatnya perempuan untuk berani mengambil sikap untuk masa depannya sendiri. Berkomunikasi secara intensif tentang hubungan merupakan salah satu solusinya. Selain itu, menurut Ratih, satu hal yang harus dilakukan perempuan diantaranya adalah dengan berani menentukan batas waktu toleransi bagi hubungan pasangan. “Supaya hubungan tidak mandeg,” terang Ratih.

Sayangnya, anggapan masyarakat terhadap perempuan yang berani terbuka kepada pasangan mengenai hubungan masih dianggap tabu. Masyarakat masih menganggap perempuan submissif. Norma yang berlaku dalam masyarakat mengharuskan perempuan untuk menunggu. “Padahal perempuan punya kesetaraan untuk menentukan masa depannya sendiri,” ujarnya.

Thursday, September 20, 2007

Magical Moment


“Aku suka senja”. Seorang teman pernah mengatakan kepada saya. Waktu itu saya memintanya secara eksklusif menjadi sopir sehari. Berkeliling di pinggiran kota Surabaya. Mengambil beberapa gambar menarik untuk tugas UTS Fotografi Jurnalistik di kampus. Hampir satu tahun yang lalu. Kondisi saya yang pada saat itu sedang dalam masa penyembuhan dari sebuah operasi ringan tidak mengijinkan untuk bergerak banyak. Delapan jahitan di perut belum mengering.

Kalimatnya terlontar ketika saya memintanya berhenti di bilangan klampis. Saya turun dari Supra x-nya dan mengabadikan langit senja dengan kamera pinjaman dari kampus. Bukan karena dia adalah senja, namun murni karena kepentingan tugas.

Mendengar kata-kata teman tadi, saya hanya tersenyum. “Aneh” pikir saya. Langit memang menjadi pemandangan favorit saya. Namun selama 21 tahun menjalani kehidupan, saya paling takut dengan semburat merah yang muncul pada pergantian hari tersebut. Saya merasa itu seperti setan. Mungkin saya terlalu banyak membaca buku dongeng anak-anak.

“Pokoknya anakku kelak akan aku beri nama senja dan pagi,” tambah teman saya tadi. Dia memang menyukai warna merah di langit pagi dan senja. Merasa terusik dengan kata-katanya, saya pun akhirnya bertanya mengapa dia begitu suka dengan senja.

“Karena di punya magical moment yang tidak akan bisa dilihat dua kali. Indah sekali,” jawabnya. Kembali saya hanya tersenyum. Saya anggap dia terlalu mendramatisir suasana. Karena dia sedang jatuh cinta pada rekan satu jurusan mungkin. Atau karena dia ingin terkesan romantis. Saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak pernasaran apalagi memasukkannya dalam hati. Saya pun hanya menjawab singkat, “O,ya?”.

Langit memang indah. Indah sekali. Tapi tidak saat berwarna merah. Saat merah, langit seperti marah. Terlebih menurut sepengetahuan saya, pagi dan senja adalah waktu turunnya setan ke bumi. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran saya. Saya hampir melupakan bahwa pada saat yang sama Tuhan menurunkan malaikatnya ke bumi. Hingga akhirnya ketika perjalanan kami sampai di jalan Airlangga, depan kampus B Unair, saya menjerit.

“Aah.. apa itu?”. Tangan saya menunjuk pada sebuah lukisan di langit sebelah barat. Di antara menara Fakultas Ekonomi Unair dan kubah Masjid Nuruzzaman. Sebuah garis merah keunguan menyembul di langit jingga. Saya hanya ternganga melihatnya.

Namun kenikmatan itu tak bertahan lama. Setelah motor yang kami tumpangi berbelok ke arah kiri, hanya berselang tidak lebih dari dua menit, saya tak lagi dapat menemukan lukisan tersebut. Tak habis-habisnya mata saya memandang ke sekeliling saya. Sejauh mata saya dapat memandang. Namun tetap tak dapat saya temukan kembali l lukisan itu.

"Itu namanya magical moment,"jelas teman saya sambil tetap menyetir motornya. "Kamu hanya bis melihatnya sekali. Tidak untuk kedua kalinya. Ajaib kan?" tambahnya.


Saya hanya terdiam. Akhirnya saya mengerti kenapa teman saya menjadi pemuja senja. Warna merah yang saya anggap representasi setan, ternyata justru sebaliknya. Mungkin itu menjadi salah satu alasan kenapa Tuhan melarang umatnya tidur dikala pergantian hari. Bukan karena agar tidak , meminjam istilah orang jawa, kesambet setan. Namun karena kita diperintahkan untuk menikmati indanya langit merah dan menjadi semakin bersyukur karenanya.


Sayangnya, saya seringkali lupa pada magical moment. Sampai pada satu hari ketika saya berkendara dari kota menuju kantor untuk setor berita, saya kembali melihat langit merah itu. Tepat di lagit terbuka sebelah kanan saya. Sedikit tertutup kepulan asap kendaraan kota. Meski saya menyadari telah tertinggal oleh magical moment. Mata saya tak bisa lepas untuk tetap mencari dimana dia bersembunyi.

Saya pun berjanji dalam hati. Suatu saat nanti akan kembali. Memandang langit merah. Menikmati setiap detik terindah yang tak dijumpai dua kali dalam sehari. Dengan seseorang duduk di samping saya.

Sunday, September 16, 2007

Awalku


Awal memang tidak pernah mudah. Seingat saya, itu adalah kata-kata yang dilontarkan seorang trainer outbond kepada kami, di Cikole, Lembang Februari lalu. Saat itu ada beberapa orang dari kami tidak memiliki keberanian untuk mencoba games yang berhubungan dengan ketinggian. Pak Roni, nama trainer itu, berusaha memberi semangat dan membakar keberanian kami.
Entah mengapa sampai sekarang kata-kata Pak Roni, tidak pernah lepas dari ingatan saya. Setiap kali saya mencoba hal baru yang tidak menyenangkan, hati saya selalu berkata, “awal tidak pernah mudah,”. Namun saya yakin ada hal besar menanti jika saya bersabar melakukannya. Dengan syarat yang saya lakukan tidak menyimpang dari ajaran agama dan norma.

Seperti saat ini. saya sedang memulai kehidupan baru saya. Hidup di kota besar. Lepas dari kampus. Sedang menggeliat keluar dari dari ketergantungan kepada orang tua. Mencoba berdiri sendiri. Terlebih selama ini, orang tua saya tidak pernah membiarkan saya untuk benar-benar hidup sendiri.

Namun saya tahu, awal memang tidak pernah mudah. Mencoba meniti karir di bidang jurnalistik. Dengan kemampuan menulis yang pas-pasan, kiranya tak pantas kalau meminta kompensasi terlampau besar. Saya sangat sadar itu.
Namun saya tahu, bahwa awal tidak pernah mudah. Semua orang pasti melaluinya. Hukum alam lah yang akhirnya berbicara. Siapa yang bisa bertahan hidup, dialah yang menjadi pemenangnya. Dan saya tahu, saya akan jadi pemenangnya.

Karena saya tahu, awal tidak pernah mudah. Sekarang tinggal bagaimana saya menjalankannya. Menikmatinya. Menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Terlalu cepat jika saya mengatakan tidak bisa. Sebab saya tahu saya bisa.

Ingatan saya berputar cepat. Di akhir kata-katanya, Pak Roni mengucapkan, “Finish what you,ve started”. Seketika, kalimat itu memecut hati saya. Kala itu saya belum menyelesaikan skripsi. Masih jauh bahkan. Belum ada separuh yang tuntas saya kerjakan, padahal deadline penyerahan skripsi tinggal empat bulan lagi.

Kalimat itu pula yang selalu memberikan suntikan energi bagi saya. Sampai-sampai saya menuliskannya dalam halaman pembatas skripsi saya yang menjadi pajangan sebulan ini. sebuah ungkapan yang ternyata sangat manjur melecutkan semangat saya.
Hanya berharap, kalimat itu akan dapat mengobarkan kembali sisa-sisa semangat Bahwa I will finish what I’ve started.