Thursday, September 20, 2007

Magical Moment


“Aku suka senja”. Seorang teman pernah mengatakan kepada saya. Waktu itu saya memintanya secara eksklusif menjadi sopir sehari. Berkeliling di pinggiran kota Surabaya. Mengambil beberapa gambar menarik untuk tugas UTS Fotografi Jurnalistik di kampus. Hampir satu tahun yang lalu. Kondisi saya yang pada saat itu sedang dalam masa penyembuhan dari sebuah operasi ringan tidak mengijinkan untuk bergerak banyak. Delapan jahitan di perut belum mengering.

Kalimatnya terlontar ketika saya memintanya berhenti di bilangan klampis. Saya turun dari Supra x-nya dan mengabadikan langit senja dengan kamera pinjaman dari kampus. Bukan karena dia adalah senja, namun murni karena kepentingan tugas.

Mendengar kata-kata teman tadi, saya hanya tersenyum. “Aneh” pikir saya. Langit memang menjadi pemandangan favorit saya. Namun selama 21 tahun menjalani kehidupan, saya paling takut dengan semburat merah yang muncul pada pergantian hari tersebut. Saya merasa itu seperti setan. Mungkin saya terlalu banyak membaca buku dongeng anak-anak.

“Pokoknya anakku kelak akan aku beri nama senja dan pagi,” tambah teman saya tadi. Dia memang menyukai warna merah di langit pagi dan senja. Merasa terusik dengan kata-katanya, saya pun akhirnya bertanya mengapa dia begitu suka dengan senja.

“Karena di punya magical moment yang tidak akan bisa dilihat dua kali. Indah sekali,” jawabnya. Kembali saya hanya tersenyum. Saya anggap dia terlalu mendramatisir suasana. Karena dia sedang jatuh cinta pada rekan satu jurusan mungkin. Atau karena dia ingin terkesan romantis. Saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak pernasaran apalagi memasukkannya dalam hati. Saya pun hanya menjawab singkat, “O,ya?”.

Langit memang indah. Indah sekali. Tapi tidak saat berwarna merah. Saat merah, langit seperti marah. Terlebih menurut sepengetahuan saya, pagi dan senja adalah waktu turunnya setan ke bumi. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran saya. Saya hampir melupakan bahwa pada saat yang sama Tuhan menurunkan malaikatnya ke bumi. Hingga akhirnya ketika perjalanan kami sampai di jalan Airlangga, depan kampus B Unair, saya menjerit.

“Aah.. apa itu?”. Tangan saya menunjuk pada sebuah lukisan di langit sebelah barat. Di antara menara Fakultas Ekonomi Unair dan kubah Masjid Nuruzzaman. Sebuah garis merah keunguan menyembul di langit jingga. Saya hanya ternganga melihatnya.

Namun kenikmatan itu tak bertahan lama. Setelah motor yang kami tumpangi berbelok ke arah kiri, hanya berselang tidak lebih dari dua menit, saya tak lagi dapat menemukan lukisan tersebut. Tak habis-habisnya mata saya memandang ke sekeliling saya. Sejauh mata saya dapat memandang. Namun tetap tak dapat saya temukan kembali l lukisan itu.

"Itu namanya magical moment,"jelas teman saya sambil tetap menyetir motornya. "Kamu hanya bis melihatnya sekali. Tidak untuk kedua kalinya. Ajaib kan?" tambahnya.


Saya hanya terdiam. Akhirnya saya mengerti kenapa teman saya menjadi pemuja senja. Warna merah yang saya anggap representasi setan, ternyata justru sebaliknya. Mungkin itu menjadi salah satu alasan kenapa Tuhan melarang umatnya tidur dikala pergantian hari. Bukan karena agar tidak , meminjam istilah orang jawa, kesambet setan. Namun karena kita diperintahkan untuk menikmati indanya langit merah dan menjadi semakin bersyukur karenanya.


Sayangnya, saya seringkali lupa pada magical moment. Sampai pada satu hari ketika saya berkendara dari kota menuju kantor untuk setor berita, saya kembali melihat langit merah itu. Tepat di lagit terbuka sebelah kanan saya. Sedikit tertutup kepulan asap kendaraan kota. Meski saya menyadari telah tertinggal oleh magical moment. Mata saya tak bisa lepas untuk tetap mencari dimana dia bersembunyi.

Saya pun berjanji dalam hati. Suatu saat nanti akan kembali. Memandang langit merah. Menikmati setiap detik terindah yang tak dijumpai dua kali dalam sehari. Dengan seseorang duduk di samping saya.

No comments:

Post a Comment