Thursday, December 13, 2007

Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri

lemon_1600.jpg Dari Anas dan Qatadah R.a, dari Nabi Saw Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri, Qotadah R.a berkata:"Bagaimana dengan makan?" Beliau Saw menjawab: "Itu kebih buruk lagi". (HR.. Muslim dan Turmidzi)

Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda
"Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !" (HR. Muslim)

Rahasia Medis
Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani berkata: "Minum dan makan sambil duduk, lebih sehat, lebih selamat, dan lebih sopan, karena apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan. Adapun Rasulullah Saw pernah sekali minum sambil berdiri maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk. seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat!

Begitu pula makan sambil berjalan, sama sekali tidak sehat, tidak sopan, tidak etis dan tidak pernah dikenal dalam Islam dan kaum muslimin.

Dr. brahim Al-Rawi melihat bahwa manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupkan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat tepenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, dimana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.
Dr. Al-rawi menekankan bahwa makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus.
Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (Vagal Inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak.
Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus –menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang masuk.

Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum.

Oleh karena itu marilah kita kembali hidup sehat dan sopan dengan kembali ke pada adab dan akhlak Islam, jauh dari sikap meniru-niru gaya orang-orang yang tidak mendapat hidayah Islam.

Subhanallah.....

(Diambil dari Inbox-ku, 13 Desember 2007)

Sumber: Qiblati edisi 04 tahun II. Judul: Larangan Minum sambil berdiri, Hal 16

Thursday, December 6, 2007

Semoga


Seorang lelaki di seberang lautan saat ini mungkin sedang menangis. Tidak. Mungkin dia hanya bersedih. Mencoba tegar, membangun harapan baru, dan kembali melanjutkan hidupnya.

Hatinya mungkin teriris saat membaca sms balasan dari saya. Tidak banyak yang saya tahu. Hanya sedikit berita tentang gadis pujaannya yang akan menikah, tak lama.

Bahkan untuk meyakinkannya pun saya berusaha mencari kebenaran, atas permintaannya. Sayang, saya tak berhasil mendapatkannya. Hanya secuil berita kurang lengkap dari seorang sahabat lama. Mungkin tak mampu memuaskannya, hingga lelaki itupun bertekad mencari kebenaran untuk dirinya.

Dan saya tahu harapannya telah pupus. Saat sebuah sms masuk, sore itu.

Terimakasih ya Jeng. Semua sudah jelas. Dia memang mau menikah. Maaf sudah menganggumu. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Semoga Allah memberimu kekuatan.

Perempuan dalam Kereta


Dalam kereta ekonomi Rapih Dhoho tujuan Kediri, saya pikir saya termasuk orang paling sabar. Saat itu hampir semua orang mengeluh, kereta yang seharusnya berangkat pukul 15.47 dari Stasiun Gubeng, kemudian melanjutkan perjalanan ke Stasiun Semut untuk ganti lokomotif, molor tak kurang dari satu jam. Penyebabnya bisa jadi karena ada masalah teknis atau karena banjir, karena memang hujan lebat baru saja mengguyur Surabaya beberapa saat sebelumnya.

Kereta terasa pengap karena ratusan penumpang saling berdesakan. Belum lagi lantai gerbong yang tergenang air. Lampu gerbong yang mati menambah keruh keadaan. Seorang perempuan setengah baya di samping saya tak henti-hentinya menggerutu. Saya? Hanya bisa menucapkan istighfar beribu kali untuk menenangkan hati dan mendinginkan kepala yang rasanya seperti mau pecah. Saat itu saya merasa berada pada puncak kesabaran, hingga saya dapati seorang perempuan awal tiga puluhan masuk gerbong yang saya tumpangi dengan dua anaknya yang masih kecil.

Tangan kirinya membawa tas hitam kecil sekaligus menggendong anaknya yang baru berusia sepuluh bulan. Sementara tangan satunya menarik travel bag ukuran sedang serta menggandeng anak lelakinya yang lebih besar. Dan perempuan itu duduk di sebelah saya.

Selama perjalanan, si anak lelaki tak pernah berhenti bertingkah. Hiperaktif mungkin, itu menurut saya sih. Dia selalu mengeluarkan kepalanya melalui jendela dengan tumpuan kaki di (saya kurang tahu istilahnya) meja kecil yang menempel pada dinding kereta. “Lihat, banjir ma,” ucapnya. Bukan hanya saya, orang-orang yang melihat merasa miris, khawatir jika si bocah hiperaktif tergelincir dan jatuh keluar kereta. Sementara itu, si kecil tak henti-hentinya menangis karena kepanasan.

Apa yang dilakukan perempuan itu? Dengan penuh sikap keibuan, ia menyusui si kecil sambil mengipasinya. Di sela-selanya, ia menegur anak lelaki, menanyakan apa yang dilihatnya di luar. “Tidak ada apa-apa ma,” jawab si bocah. “Ya sudah, tidak ada apa-apa kan? Turun ya, nak!” ujar perempuan itu tanpa memaksa.

Selama hampir dua jam perjalanannya ke Stasiun Sumobito, yang dalam kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam, tidak terdengar kata-kata bernada keras keluar dari mulutnya. Bahkan ketika si kecil sudah mulai terlelap di pelukan tangan kirinya, tangan kanannya masih mampu menjaga bocah lelaki yang tetap berdiri dan menjulurkan kepala keluar. Sesekali tampak keduanya tertawa.

Hingga saat kereta berhenti di Stasiun Sumobito, perempuan itu turun membawa semua bawaan dan si kecil yang tertidur serta si bocah yang mulai mengantuk di gandengan. Tak terlihat seorang lelaki pun yang membantu meringankan bebannya. “Kemana bapaknya?” Mungkin itu menjadi pertanyaan yang berkecamuk di pikiran penumpang lain yang melihatnya. Termasuk saya.

Saat itulah saya merasa malu. Ternyata kesabaran saya belum seberapa.

Merawat Rambut Bagi Jilbaber

Membaca sebuah tabloid wanita nasional terbitan grup penguasa media di Jawa Timur, saya mendapati sebuah artikel penting tentang perawatan rambut bagi perempuan berjilbab. Satu hal yang seringkali luput dari pengamatan kaum perempuan yang memang mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Padahal, bagaimanapun juga, meski selalu tertutup oleh hijab, rambut tetap menjadi mahkota bagi perempuan.

Pertama, yang harus dilakukan adalah rajin-rajin keramas. Bagi perempuan berjilbab, sebaiknya mencuci rambut 3-4 kali dalam seminggu menggunakan sampo yang sesuai dengan jenis rambut. Jangan lupa gunakan setum anti rontok seperti hair tonic. Ini karena rambut yang tertutup jilbab rawan mengalami kerontokan. Untuk rambut kering, tambahkan vitamin. Sementara untuk rambut berminyak, sebaiknya hindari sampo 2in1. Lebih baik gunakan conditioner secara terpisah di ujung helai rambut.

Kedua, gunakan sisir bergigi jarang setelah keramas. Jangan gunakan sikat gigi sebab akan semakin menyebabkan rambut rontok.

Ketiga, keringkan rambut secara alami. Kalaupun terpaksa menggunakan hair dryer, gunakan pada jarak 20 centimeter dari kulit kepala dengan suhu terendah.

Keempat, sebaiknya jangan membiarkan rambut tumbuh terlalu panjang. Kalau ingin memiliki rambut panjang, sebaiknya tidak lebih dari 60 centimeter. Bagi yang berambut panjang, usahakan rambut selalu dalam keadaan terurai saat tidak mengenakan jilbab di dalam rumah, sehingga rambut bisa bernapas. Bila terpaksa mengikat, jangan gunakan ikat rambut yang terlalu kencang.

Kelima, pilih kerudung yang terbuat dari bahan berpori dan tidak terlalu tipis. Hindari warna gelap yang menyerap panas sehingga menyebabkan kulit kepala semakin lembab. Selain itu, pemakaian kerudung sebaiknya dilepas hingga menutup dada untuk optimalisasi ventilasi. Model jilbab yang ujung-ujungnya dililitkan pada leher memang rapi dan trendi. Tapi kelemahannya jika terlalu kencang akan membuat rambut sulit bernapas dan kulit kepala menjadi sangat lembab, sehingga memperbesar kemungkinan rambut rontok.

Sedikit komentar dari saya, tips nomor lima ini tampaknya sangat sesuai dengan firman yang terdapat dalam Q.S Al Ahzab : 59
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Satu bukti bahwa ayat Allah selalu memberi manfaat bahkan sampai hal terkecil sekalipun, seperti masalah kerontokan rambut, bagi umat-Nya, bukan? Wallahualam bishawab.

Terakhir, makan makanan bergizi sangat penting untuk menjaga kesehatan kulit kepala.

Semoga bermanfaat... (^_^)

Sunday, October 21, 2007

Rumah

Ya Tuhan..
sekali lahi saya merobohkannya. Sebuah rumah megah. Berdiri sekian lama. Beralaskan permadani, memastikan saya nyaman di dalamnya. Berhiaskan taman dan bunga-bunga membuat saya tak bosan memandangnya. Ditambah kursi sofa, yang akan membuai dengan lembut siapa pun yang duduk di atasnya. Gagah dan memberikan rasa lapang. Dengan puluhan pengawal yang akan bersorak menyambut kedatangan saya. Ke rumah itu, yang telah menunggu kehadiran saya begitu lama. Namun kali ini tak tersisa. Maafkan saya..

Karena saya telah memilih. Rumah untuk pulang. Tempat saya istirahat saat lelah.

Sebuah rumah sederhana. Kecil, dan mungkin masih ada atap yang bocor di salah satu sudutnya. Saya belum terlalu lama memeriksanya. Tapi saya akan membuatnyamenjadi besar. Menutup atapnya yang berlubang dengan segala cara. Mengecatnya dengan berbagai warna. Berharap dapat berlindung dari teriknya matahari dan derasnya hujan. Berharap dapat menjadi tempat menghimpun energi dan semangat untuk melangkah menghadapi dunia esok hari. Semoga saja

Wednesday, October 17, 2007

Kerinduan sebenarnya


Saya tarik napas dalam-dalam. Mencoba memasukkan sebanyak-banyaknya udara. Merasakannya masuk dalam paru-paru, dan membiarkan oksigen memenuhi otak saya.

Saya nikmati setiap belaian lemut angin yang berhembus lembut. Menyentuh wajah yang baru saja dibilas. Segar.

Saya cium aroma dedaunan. Saya dengar lekat-lekat gesekan daun kering di tanah, terinjak kaki manusia yang melangkah melewatinya.

Saya akan merindukan tempat ini. Saangaat merindukan tempat ini.

***


Saya nikmati sentuhan itu. Belaian lembut tangan lelaki separuh baya. Mengusap kepala yang tertutup jilbab ini. Saya angkat tangannya, menggenggam dan merapatkannya ke hidung. Sebuah cara untuk mendapatkan restu yang bukan sekadar tradisi. Berharap do'a yang keluar dari bibirnya akan selalu mengiringi langkah saya.

Tak ingin saya lepaskan pelukan perempuan di depan saya. "Hati-hati," bisiknya. Saya hanya mampu mengangguk pelan. Hanya ucapan salam yang mengantarkan kepergian saya.

Langkah kaki saya terasa berat. Meninggalkan tempat penuh kenangan. Saya buka pintu mobil, duduk, dan memasng sabuk pengaman. Perasaan saya tidak enak. Sahabat di sebelah saya berkata, "Sudah, tenanglah".

Ternyata saya ketinggalan kereta.

***


Saya lambaikan tangan. Memanggil taksi yang melintas di jalan raya tempat saya berdiri. Pintu terbuka. "Ke Karangwismo, Pak," kata saya. Selama beberapa menit berikutnya saya biarkan suasana tetap hening.

Sopir taksi mencoba memecahkan keheningan yang saya ciptakan. "Lewat Wonokromo, mbak?" tanyanya. "Iya," jawab saya singkat. Saat itu yang saya inginkan hanyalah segera sampai dan kembali melanjutkan hidup. Tidak ingin saya tangisi hati yang tertinggal.

Kembali sopir taksi memecah lamunan saya. "Maaf, ini lewat Kertajaya ya,mbak?". "Iya," jawab saya lagi. Tidak nyaman juga ternyata hanya berdiam diri. Saya pun meneruskan pembicaraan dengan sopir, dengan pertanyaan yang cukup basi,"Surabaya masih sepi ya, Pak?".

Pembicaraan pun berlanjut. Dari situasi Surabaya, sampai isu paling up to date: mudik. Bapak yang ternyata asli Madiun itu bercerita juga banyak tentang keluarga dan pekerjaannya. Sayang saya lupa melihat tulisan yang tertera di tanda pengenalnya.

Sudah dua ahun ini dia tidak pulang ke Madiun. Orang tua sudah tidak ada, katanya. Sehingga tidak ada lagi yang mempersatukan perasaan anggota keluarga yang lain. "Padahal biasanya kalau ada ibu ya mbak, semua permasalahan rasanya hilang. Walaupun cuma melihat beliau saja, rasanya sudah tidak ada masalah lagi. Tapi sekarang saya sudah tidak bisa lagi," ceritanya.

Saya mengangguk. Mungkin itulah jawaban mengapa pulang ke rumah menjadi perjalanan yang paling saya nantikan. Mengapa meski hanya satu detik saja, tak ingin saya memejamkan mata saat berada di rumah. Sebab saya tahu semua masalah hilang disana. Tempat yang selalu saya rindukan, dimana selalu ada orang-orang yang merindukan saya. Dengan tulus.

karena rindu
dunia terasa sepi
tapi karena dirindukan
dunia begitu berarti
(Andi Eriawan, Ruang Rindu)

Thursday, October 4, 2007

Sukses a la Tianshi

Akhir bulan lalu saya mendapat tugas, meliput tren busana muslim Ramadhan dari beberapa butik di Surabaya. Mendengarnya, jelas saya senang sekali. Sekalian cuci mata, pikir saya.

Sebagai seorang perempuan wajar kalau saya menyukai dunia fashion. Meski harus saya akui, saya termasuk dalam golongan orang-orang yang old fashion. Tidak pernah mengikuti perkembangan dunia fashion. Buat apa, menurut saya. Toh tidak semua pakaian yang sedang menjadi tren dikalangan anak muda seperti saya, kalau boleh saya menyebut diri saya begitu, cocok untuk bentuk tubuh. Jadi menurut hemat saya lebih baik berpakaian ala kadarnya, yang penting nyaman dipakai dan tidak bertenangan dengan aturan yang saya anut.Apapun yang akan orang katakan.

Bukan hanya old fashion, saya juga termasuk orang yang cuek terhadap tanggapan orang lain mengenai penampilan saya. Bagi saya, rasa nyaman dan percaya diri ketika mengenakan satu busana jauh lebih penting daripada komentar orang terhadap warna atau model baju yang saya pilih.

Meski demikian saya masih tetap seperti perempuan kebanyakan yang gila fashion. Berkeliling ke toko-toko pakaian, mengincar diskonan, melihat-lihat dan bahkan mencoba beberapa baju bermerk yang mungkin saya harus menabung terlebih dahulu untuk membelinya, dan membayangkan seandainya saya mengenakan baju tesebut. Gila memang.

Kesempatan mengunjungi beberapa butik tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk cuci mata. Sekadar melihat model, siapa tahu bisa ditiru. Sebab lembaran di dompet saya tidak cukup untuk membelinya.Mengeluarkan kartu ATM?Saya masih cukup rasional untuk tidak mengeluarkan kocek demi sepasang kain cantik berpayet yang sangat dewasa.

Namun salah satu narasumber yang ingin saya temui tidak ada di butik miliknya. Wawancara pun akhirnya saya lakukan via telepon. Merasa kuran puas, saya akhirnya mengajaknya untuk bertemu. Sang narasumber yang merupakan bisnis woman ini pun menyanggupi. "Baik mbak, jam 1 di toko ya," katanya waktu itu.

Jam 1 lewat 15 menit saya datang kebutiknya yang berada di kawasan dukuh kupang. Menurut sekretarisnya, orang yang saya tunggu ini belum tiba dari Gresik. Dengan penuh kesabaran, saya memutuskan untuk menunggu sambil melihat-lihat pakaian saja.

30 menit berlalu. Tapi orang yang saya tunggu belum juga tiba. Merasa kasihan melihat saya yang mondar-mandir sambil sekadar memilah-milah pakaian, ibu sekretaris pun menghubungi narasumber saya. Beberapa menit berbicara di telepon, saya pun memutuskan menemuinya dia Wisma Tiara, tempat narasumber saya akan melakukan aktivitas berikutnya.

Wisma Tiara adalah sebuah gedung perkantoran di bilangan panglima sudirman. Perlu memutari jalan panglima sudirman dan basuki rahmat dua kali bagi saya untuk menemukan gedung dengan tulisan Wisma Tiara tersebut.


Sesuai dengan anjuran narasumber, setelah memasuki Wisma Tiara saya pun langsung menuju lantai 5. Pada awalnya saya merasa aneh. Semua orang yang saya temui di lift menuju lantai lima. Mereka mengenakan pakaian formal, berjas dan berdasi. Padahal seingat saya gedung ini berlantai 9. Kenapa hanya lanati 5 yang jadi tujuan? Namun, pertanyaan saya terjawab setelah saya menginjakkan kaki dia lantai 5.

Saya mengeluarkan HP dan menekan nomor yang sudah beberapa kali saya telepon. "Bu, saya sudah di lantai lima," kata saya seketika mendengan telepon diangkat dari seberang. "O'ya sebentar mbak. Saya masih di tol Gresik. Dua puluh menit lagi saya sampai. Mbak masuk saja ke ruangan, nanti disitu diminta registrasi 7ribu. Nanit saya ganti mbak. Duduk di depan ya! Itu juga ilmu kok," jawab narasumber saya tanpa tersela.

Seandainya tidak didesak keperluan wawancara, saya yakin tidak akan pernah menginjakkan kaki di ruangan tersebut. Sekalipun ada undangan dengan iming-iming ditraktir makan sekalipun.

Memasuki ruangan tidak terlalu luas tersebut saya memutuskan duduk di pinggir. Supaya terlihat oleh narasumber saya. Di sebelah saya seorang ibu-ibu berpakaian sederhana, terlihat mengangguk-angguk sambil sesekali berbisik dengan rekan di sampingnya, mendengar penjelasan seorang presentasi di depan. dr.Dewi, begitu orang-orang berjas itu menyebut presenter itu. Saat saya masuk, dr.Dewi sedang menjelaskan kaki-kaki atau anak cabang yang menghubungkan dari satu member dengan member lain. Juga tentang perhitungan keuntungan yang akan diperoleh per bulan saat seorang member bisa memasukkan member baru untuk bergabung.

Ya, saya ada dalam ruangan OPP Tianshi. Tak usai-usainya saya merasa heran, kenapa akhirnya nasib membawa saya untuk datang di acara ini. Padahal ajakan beberapa teman sesama Magetanisti yang sukses mempopulerkan di daerah asal saya sejak beberapa tahun lalu selalu saya abaikan. Saya tolak mentah-mentah bahkan. Dengan dalil-dalil yang saya buat sendiri. Dengan keraguan saya akan kebenaran syar'inya. Dengan alasan kesibukan, dan lain sebagainya.

Namun, demi tuntutan pekerjaan saya pun mengikuti acara tersebut dengan seksama. 20 menit berlalu. 30 menit. 40 menit. Satu jam berlalu sudah. Sementara narasumber yang saya tunggu belum juga tiba. Waktu pun akhirnya saya lalui dengan memandang heran kepada para peserta OPP. Bertepuk tangan setiap kali ada seseorang yang menunjukkan betapa suksesnya dia sebab mendapatkan gaji 20 juta perbulan. Atau betapa suksesnya dia karena telah berhasil mendapatkan mercy. Bahkan, tepuk tangan pun diberikan untuk sebuah tayangan video yang menampakkan seorang member yang telah sukses mendapatkan helikopter dan menempati bintang tertinggi di struktur 'kaki-kaki', bergitu saya menyebutnya, Tianshi.

Mungkin ini adalah bentuk kesuksesan bagi mereka. Pikir saya. Saya tidak mau memberikan judgment, apakah pandangan saya atau konsep kesuksesan mereka yang benar. Tapi saya akhirnya memahami, kesuksesan bisa kita peroleh ketika kita juga membantu orang lain untuk menjadi sukses. Maka jangan pernah menganggap orang lain sebagai kompetitor yang akan harus kita jatuhkan. Melainkan bantulah orang lain untuk mencapai kesuksesan, maka kita akan mendapatkannya dua kali lipat.

Satu jam lebih menunggu, narasumber saya akhirnya datang juga. Akan tetapi tidak serta merta saya bisa langsung melakukan wawancara. "Sebentar ya mbak, habis ini saya peresentasi di depan," katanya. Rupanya narasumber saya itu adalah salah satu bintang 8 di Surabaya yang telah memperoleh pendapatan 40 juta perbulan.

20 menit menunggunya dan 2 orang lain presentasi di panggung, akhirnya giliran saya untuk wawancara tiba. Cukup 15 menit kami berdialog. Data tambahan sudah cukup bagi saya. Saya pun pulang dengan membawa segudang ilmu tentang Tianshi dan 'kaki-kaki'. Juga tentang sebuah arti kesuksesan.

Wednesday, September 26, 2007

Kriya logam, seni yang kurang diminati


SURABAYA-Tidak banyak orang tahu tentang kriya logam. Sebuah bentuk karya seni yang menggunakan logam seperti perak, tembaga, ataupun kuningan sebagai obyeknya.

Indah Chrrysanti Angge, seniman kriya logam lulusan Institut Seni Indonesia mencoba memperkenalkan sebuah bentuk lain dari kriya seni yang belum dikenal sebagian masyarakat tersebut. Melalui pameran tunggalnya yang digelar di Gallery House of Sampoerna sejak akhir bulan lalu.

“Peminat logam kurang banyak,”. Alasan tersebut dilontarkan perempuan yang akrab dengan sapaan Santi tersebut kepada Duta kemarin (26/9), menanggapi keberadaan karya seni dari logam yang selama ini masih kurang diketahui masyarakat luas.

Kurangnya peminat terhadap salah satu bentuk seni terapan ini dikatakan Santi sebab teknik pengerjaannya seperti tukang. Untuk menghasilkan sebuah kriya logam membutuhkan proses mematah dan mematri laiknya seorang tukang besi. Itu sebabnya jenis kriya ini kurang diminati, “Apalagi perempuan,” tambahnya.

Menurut Santi, kurangnya kesadaran dari masayarakat terhadap eksistensi kriya logam sebab minimnya pengetahuan masyarakat terhadap kriya seni logam itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan keberadaan kriya logam tidak terkenal seperti bentuk karya seni lainnya semisal kerajinan keramik dan tekstil. “Orang yang menekuni (kriya logam) tidak ada yang muncul,” tuturnya.

Di samping itu, menurut Santi, orang masih awam dengan istilah ‘kriya’, yang berarti dikerjakan dengan tangan.Selama ini, sebagian orang masih menganggap kriya logam tidak lebih dari sebuah kerajinan tangan, bukan sebuah karya seni. Padahal, menurut seniman yang juga bekerja sebagai tenaga pengajar Jurusan Senirupa Universitas Negeri Surabaya ini, karya seni berbahan dasar logam sudah ada sejak jaman kerajaan. “Keris, itu juga termasuk kriya logam adiluhung. Trus di Jogja ada namanya torak jogja,” ungkapnya.

Kriya logam sendiri merupakan salah satu bentuk applied art atau seni terapan. Sebagai sebuah karya seni terap, kriya logam harus berinteraksi dengan benda lain yang hadir dalam sebuah penataan ruang. Oleh sebab itulah Santi memajang karyanya dalam bentuk penataan ruangan layaknya rumah tinggal.

Ditambahkan Santi, dalam menciptakan sebuah karya seni dari logam, banyak hal yang harus dipahami. Sifat logam misalnya. Penguasaan sifat logam sebagai bahan dasar beserta pengolahannya mutlak dimiliki oleh seniman logam. Selain itu, kontrol terhadap emosi juga harus dilakukan ketika seorang seniman sedang mengukir sebuah logam. “Kalau emosi naik, bisa patah logamnya,” katanya. Namun, dirinya mengaku, meski memiliki sifat keras, logam termasuk bahan yang mudah dalam proses pembentukannya

Dalam pameran tunggalnya yang bertema Sekar Kedhaton ini Santi banyak mengambil inspirasi dari bunga melati. Logam yang dipilihnya adalah kuningan dan tembaga. Seluruh ukiran logam dalam karyanya, seperti topeng, panel dua dimensi, sampai dinner set berhiaskan motif bunga melati. “Karena saya merasa bunga melati itu kan bunga bangsa kemudian diekspresikan dalam bentuk karya seni,” ungkap perempuan asli Malang tersebut. (aje)

Monday, September 24, 2007

Perempuan Tak Lagi Harus Menunggu


Membina sebuah rumah tangga yang harmonis bersama pasangan yang dicintai merupakan impian setiap perempuan. Bagi sebagian perempuan, mewujudkan impian tersebut merupakan hal yang mudah. Namun bagi perempuan lain, menaklukan hati laki-laki pujaan mungkin menjadi sebuah persoalan besar.

“Banyak alasan yang menyebabkan pria pelit mengeluarkan kata-kata pinangan,”. Demikian dituturkan Ratih Andjayani Ibrahim dalam talkshow bertema ‘Sampai Kapan harusMenunggu’ yang diselenggarakan Arisan Senin Citra (ASC) Senin kemarin (24/9).

Alasan pertama adalah karena sebagian laki-laki merasa usia mereka masih terlalu muda untuk melakukan pernikahan. Alasan tersebut mendasari penolakan mereka untuk segera menikah. “Padahal usia laki-laki boleh menikah adalah 18 tahun sedangkan perempuan 16 tahun,” jelas Ratih. Namun, pada usia ini laki-laki dan perempuan yang mau menikah harus mengantongi ijin dari orang tua.

Alasan kedua yang menghambat pernikahan adalah sebab seringkali laki-laki merasa belum cukup mapan baik dari segi emosional, sosial, maupun secara finansial. Selain itu, laki-laki juga masih ingin mengaktualisasikan diri sampai pada puncak kehidupannya Hal itu biasanya disebabkan karena masih banyak hal yang ingin diraih oleh para laki-laki tersebut. “Si laki-laki merasa ada hal lain yang menjadi prioritas, sehingga pernikahan dirasa menjadi faktor penghambat mereka,” tambahnya.

Perasaan nyaman terhadap kehidupan membujang juga menjadi alasan lain mengapa laki-laki sulit mengucapkan kata-kata pinangan. “Sebagian pria merasa nyaman dengan kehidupannya. Punya pekerjaan bagus dan punya pacar. Lalu mengapa harus ke jenjang lebih lanjut?” kata Ratih.

Sedangkan yang terakhir adalah sebab sebagian laki-laki merasa ragu membayangkan segala konsekuensi pernikahan.

Banyaknya faktor pengahambat seorang laki-laki untuk menikahi perempuan tidak harus disikapi secara pasif oleh perempuan. Menurut Ratih, sekarang sudah saatnya perempuan untuk berani mengambil sikap untuk masa depannya sendiri. Berkomunikasi secara intensif tentang hubungan merupakan salah satu solusinya. Selain itu, menurut Ratih, satu hal yang harus dilakukan perempuan diantaranya adalah dengan berani menentukan batas waktu toleransi bagi hubungan pasangan. “Supaya hubungan tidak mandeg,” terang Ratih.

Sayangnya, anggapan masyarakat terhadap perempuan yang berani terbuka kepada pasangan mengenai hubungan masih dianggap tabu. Masyarakat masih menganggap perempuan submissif. Norma yang berlaku dalam masyarakat mengharuskan perempuan untuk menunggu. “Padahal perempuan punya kesetaraan untuk menentukan masa depannya sendiri,” ujarnya.

Thursday, September 20, 2007

Magical Moment


“Aku suka senja”. Seorang teman pernah mengatakan kepada saya. Waktu itu saya memintanya secara eksklusif menjadi sopir sehari. Berkeliling di pinggiran kota Surabaya. Mengambil beberapa gambar menarik untuk tugas UTS Fotografi Jurnalistik di kampus. Hampir satu tahun yang lalu. Kondisi saya yang pada saat itu sedang dalam masa penyembuhan dari sebuah operasi ringan tidak mengijinkan untuk bergerak banyak. Delapan jahitan di perut belum mengering.

Kalimatnya terlontar ketika saya memintanya berhenti di bilangan klampis. Saya turun dari Supra x-nya dan mengabadikan langit senja dengan kamera pinjaman dari kampus. Bukan karena dia adalah senja, namun murni karena kepentingan tugas.

Mendengar kata-kata teman tadi, saya hanya tersenyum. “Aneh” pikir saya. Langit memang menjadi pemandangan favorit saya. Namun selama 21 tahun menjalani kehidupan, saya paling takut dengan semburat merah yang muncul pada pergantian hari tersebut. Saya merasa itu seperti setan. Mungkin saya terlalu banyak membaca buku dongeng anak-anak.

“Pokoknya anakku kelak akan aku beri nama senja dan pagi,” tambah teman saya tadi. Dia memang menyukai warna merah di langit pagi dan senja. Merasa terusik dengan kata-katanya, saya pun akhirnya bertanya mengapa dia begitu suka dengan senja.

“Karena di punya magical moment yang tidak akan bisa dilihat dua kali. Indah sekali,” jawabnya. Kembali saya hanya tersenyum. Saya anggap dia terlalu mendramatisir suasana. Karena dia sedang jatuh cinta pada rekan satu jurusan mungkin. Atau karena dia ingin terkesan romantis. Saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak pernasaran apalagi memasukkannya dalam hati. Saya pun hanya menjawab singkat, “O,ya?”.

Langit memang indah. Indah sekali. Tapi tidak saat berwarna merah. Saat merah, langit seperti marah. Terlebih menurut sepengetahuan saya, pagi dan senja adalah waktu turunnya setan ke bumi. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran saya. Saya hampir melupakan bahwa pada saat yang sama Tuhan menurunkan malaikatnya ke bumi. Hingga akhirnya ketika perjalanan kami sampai di jalan Airlangga, depan kampus B Unair, saya menjerit.

“Aah.. apa itu?”. Tangan saya menunjuk pada sebuah lukisan di langit sebelah barat. Di antara menara Fakultas Ekonomi Unair dan kubah Masjid Nuruzzaman. Sebuah garis merah keunguan menyembul di langit jingga. Saya hanya ternganga melihatnya.

Namun kenikmatan itu tak bertahan lama. Setelah motor yang kami tumpangi berbelok ke arah kiri, hanya berselang tidak lebih dari dua menit, saya tak lagi dapat menemukan lukisan tersebut. Tak habis-habisnya mata saya memandang ke sekeliling saya. Sejauh mata saya dapat memandang. Namun tetap tak dapat saya temukan kembali l lukisan itu.

"Itu namanya magical moment,"jelas teman saya sambil tetap menyetir motornya. "Kamu hanya bis melihatnya sekali. Tidak untuk kedua kalinya. Ajaib kan?" tambahnya.


Saya hanya terdiam. Akhirnya saya mengerti kenapa teman saya menjadi pemuja senja. Warna merah yang saya anggap representasi setan, ternyata justru sebaliknya. Mungkin itu menjadi salah satu alasan kenapa Tuhan melarang umatnya tidur dikala pergantian hari. Bukan karena agar tidak , meminjam istilah orang jawa, kesambet setan. Namun karena kita diperintahkan untuk menikmati indanya langit merah dan menjadi semakin bersyukur karenanya.


Sayangnya, saya seringkali lupa pada magical moment. Sampai pada satu hari ketika saya berkendara dari kota menuju kantor untuk setor berita, saya kembali melihat langit merah itu. Tepat di lagit terbuka sebelah kanan saya. Sedikit tertutup kepulan asap kendaraan kota. Meski saya menyadari telah tertinggal oleh magical moment. Mata saya tak bisa lepas untuk tetap mencari dimana dia bersembunyi.

Saya pun berjanji dalam hati. Suatu saat nanti akan kembali. Memandang langit merah. Menikmati setiap detik terindah yang tak dijumpai dua kali dalam sehari. Dengan seseorang duduk di samping saya.

Sunday, September 16, 2007

Awalku


Awal memang tidak pernah mudah. Seingat saya, itu adalah kata-kata yang dilontarkan seorang trainer outbond kepada kami, di Cikole, Lembang Februari lalu. Saat itu ada beberapa orang dari kami tidak memiliki keberanian untuk mencoba games yang berhubungan dengan ketinggian. Pak Roni, nama trainer itu, berusaha memberi semangat dan membakar keberanian kami.
Entah mengapa sampai sekarang kata-kata Pak Roni, tidak pernah lepas dari ingatan saya. Setiap kali saya mencoba hal baru yang tidak menyenangkan, hati saya selalu berkata, “awal tidak pernah mudah,”. Namun saya yakin ada hal besar menanti jika saya bersabar melakukannya. Dengan syarat yang saya lakukan tidak menyimpang dari ajaran agama dan norma.

Seperti saat ini. saya sedang memulai kehidupan baru saya. Hidup di kota besar. Lepas dari kampus. Sedang menggeliat keluar dari dari ketergantungan kepada orang tua. Mencoba berdiri sendiri. Terlebih selama ini, orang tua saya tidak pernah membiarkan saya untuk benar-benar hidup sendiri.

Namun saya tahu, awal memang tidak pernah mudah. Mencoba meniti karir di bidang jurnalistik. Dengan kemampuan menulis yang pas-pasan, kiranya tak pantas kalau meminta kompensasi terlampau besar. Saya sangat sadar itu.
Namun saya tahu, bahwa awal tidak pernah mudah. Semua orang pasti melaluinya. Hukum alam lah yang akhirnya berbicara. Siapa yang bisa bertahan hidup, dialah yang menjadi pemenangnya. Dan saya tahu, saya akan jadi pemenangnya.

Karena saya tahu, awal tidak pernah mudah. Sekarang tinggal bagaimana saya menjalankannya. Menikmatinya. Menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Terlalu cepat jika saya mengatakan tidak bisa. Sebab saya tahu saya bisa.

Ingatan saya berputar cepat. Di akhir kata-katanya, Pak Roni mengucapkan, “Finish what you,ve started”. Seketika, kalimat itu memecut hati saya. Kala itu saya belum menyelesaikan skripsi. Masih jauh bahkan. Belum ada separuh yang tuntas saya kerjakan, padahal deadline penyerahan skripsi tinggal empat bulan lagi.

Kalimat itu pula yang selalu memberikan suntikan energi bagi saya. Sampai-sampai saya menuliskannya dalam halaman pembatas skripsi saya yang menjadi pajangan sebulan ini. sebuah ungkapan yang ternyata sangat manjur melecutkan semangat saya.
Hanya berharap, kalimat itu akan dapat mengobarkan kembali sisa-sisa semangat Bahwa I will finish what I’ve started.

Monday, June 18, 2007

Tips Begadang

Begadang jangan begadang
Kalau tiada akhirnya
Begadang boleh saja
Asal ada batasnya

Penggalan lirik lagu karya Rhoma Irama di atas benar dan berlaku bagi saya. Begadang adalah sesuatu yang harus dihindari karena mengakibatkan kengantukan keesokkan harinya. Oleh karenanya, kecuali untuk main kartu dan bergosip bersama teman kos,saya tidak akan pernah melakukan satu aktivitas yang disebut dengan begadang.

Akan tetapi, beberapa waktu belakangan, dengan amat terpaksa saya melanggar prinsip saya tersebut. Bagaimana tidak, saya harus menyelesaikan skripsi sebagai persyaratan kelulusan dari universitas tak lebih dari 10 hari, sementara, saya merasa apa yang saya kerjakan selama ini masih jauh dari sempurna. Akhirnya dengan tekad bulat saya memutuskan untuk begadang sampai pagi demi skripsi saya.

Ada beberapa hal yang harus saya lakukan sebelum saya memulai begadang.

1. Mandi lebih sore. Biasanya saya mandi setelah pukul tujuh malam. Menyegarkan memang mengingat malam hari di Surabaya sangat panas. Namun efek yang dihasilkan adalah rasa kantuk yang luar biasa. Jadi agar mata tetap terjaga dan rasa kantuk tidak melanda, saya harus mandi lebih awal. Yah jam kira-kira jam tujuh kurang lima atau kurang sepuluh menit.

2. Ganti makan malam dengan makan sore. Waktu makan malam yang afdhol bagi saya adalah pukul delapan atau sembilan malam. Selain bisa menjadikan tubuh lebih berisi, makan (benar-benar) malam juga menimbulkan efek kantuk, sama halnya dengan mandi malam. Oleh karena itu makan malam harus dihindari dan diganti dengan makan sore, agar mata tetap melek dan program begadang berjalan sukses.

3. Siapkan beberapa makanan ringan yang tidak mengenyangkan sebagai teman begadang. Mie gelas, biasanya menjadi teman terbaik saya untuk begadang. Bagi yang mudah merasa kenyang, sebaiknya hindari mie sebagai camilan.

4. Siapkan minuman yang bisa membuat mata melek. Kalau saya biasanya menyediakan moccacino atau kopi instant lain sebagai pendamping makanan ringan. Kafein dalam kopi akan membuat mata tetap terjaga. Meskipun efek samping kafein tidak berlaku bagi saya, tapi rasa mulas yang dihasilkan setelah minum kopi instant menghalangi rasa kantuk saya.

5. Satu lagi. Coklat. Saya tidak tahu zat apa yang ada di dalam coklat, namun coklat membuat saya merasa lebih bersemangat dan tidak mengantuk lagi. Mungkin karena rasanya yang enak membuat saya ketagihan untuk terus makan dan tidak rela meninggalkan, bahkan untuk sekedar menutup mata. Oh, ya satu informasi, coklat tidak menimbulkan kegemukan, jadi jangan khawatir untuk mengkonsumsi coklat sebanyak-banyaknya, terutama dark coklat. Bagi yang tidak memiliki dompet cukup tebal untuk membeli coklat bermerk, coklat blok yang biasa digunakan sebagai bahan pembuat kue sah-sah saja untuk dimakan. Enak kok. Irit lagi.

Selamat begadang….

Friday, June 15, 2007

Kutukan Semut...berhati-hatilah!!

Saya bukan orang yang sangat percaya dengan hukum karma.

Tapi saya percaya bahwa setiap perbuatan pasti akan mendapat balasan.

Beberapa hari yang lalu saya mengambil pakaian yang sudah kurang lebih selama tiga hari saya jemur. Di jemuran tentunya, bukan di atap rumah.

Pada pakaian saya yang saya angkat tersebut, saya menemukan beberapa semut berbaris. Wah pikir saya, begitu manisnya saya sampai-sampai pakaian saya pun terkena aura kemanisan saya sehingga ditempeli oleh semut yang notabene doyan dengan yang manis-manis. Bagi saya sih biasa ya ditaksir oleh semut, secara, saya memang manis.. hehehe...

Berhubung gigitan semut itu menyakitkan dan menimbulkan gatal-gatal, saya pun membunuh satu persatu semut-semut kecil tersebut, tanpa rasa bersalah. Secara naluriah, manusia mana yang mau disakiti oleh seekor semut, bukan begitu? Apalagi, itu kan hanya seekor semut!! Sedangkan kita kan seekor eh seorang manusia?! Gengsi dong kalau saya harus mengalah pada semut. Betul tidak?

Ternyata kebiasaan saya membunuh.. semut.. itu tidak berhenti di situ saja. Setiap kali saya melihat semut yang sedang gerak jalan, baris berbaris, naluri pembunuh saya selalu muncul. Kadang-kadang saya berpikir, sebenarnya siapa yang manusia, siapa yang hewan ya?

Namun, suatu ketika, saya mulai sadar. Hati saya mulai tergerak. Otak saya mulai berpikir. Apa hak saya mengambil nyawa para semut itu? Bukankah sebagai makhluk hidup mereka memiliki hak yang sama untuk hidup dengan tenteram. Bukankah hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa makhluk-Nya?

Saya mulai berpikir, bagaimana kalau kelak di akhirat semut-semut itu menuntut balas atas perbuatan saya terhadap mereka di dunia? Pada saat Tuhan mau memasukkan saya ke surga, kemudian semut-semut yang mati di tangan saya itu berteriak ”SAYA TIDAK TERIMA TUHAN...AJENG ENGKAU MASUKKAN SURGA? SEBAB DIA TELAH MEMBUNUH SEBGIAN BESAR BANGSA KAMI, SEHINGGA KAMI TIDAK BISA MELANJUTKAN KEHIDUPAN KAMI DI DUNIA. KETURUNAN KAMI PUN TELAH PUNAH DI DUNIA KARENA DIA!!” dengan bahasa semut yang sudah pasti dimengerti oleh Tuhan, karena Tuhan Maha Mengetahui.

Akhirnya karena demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para semut yang mati di tangan saya tersebut Tuhan mengabulkan tuntutan mereka dan menjebloskan saya ke neraka. Jelas saya tidak bisa naik banding, karena saya tidak punya alibi apapun. Saya memang telah melakukan pembunuhan terhadap kawanan semut tersebut. Dan masuklah saya ke neraka.

Glotak!! Saya sadar dari lamunan tentang masa depan. Takut kalau kelak saya tidak dapat masuk surga karena tuntutan para semut yang mati di tangan saya, saya pun akhirnya memutuskan bahwa mulai saat ini saya tidak akan membunuh semut dengan cara yang kejam dan tanpa perasaan. Yah, paling saya akan berbicara baik-baik dengan para semut yang menempel di pakaian atau kamar saya untuk meninggalkan tempat. Semoga mereka mengerti bahasa manusia. Atau saya harus berbicara dengan bahasa semut?

Selamatkan kehidupan semut! Hidup semut!!

Wednesday, June 6, 2007

traveler's tale

Ini bukan judul sebuah novel tentang perjalanan empat sahabat menuju ke kota Milan. Ini adalah kisah perjalanan saya dengan seorang teman, Merry, di kota Surabaya tercinta.

Minggu pagi, saya dan tiga teman kos saya, Merry, Anggita, dan, Anna sepakat pergi jalan-jalan dengan mengendari sepeda motor ke Laguna Indah. Sebuah kawasan perumahan elit di daerah Surabaya Timur. Sebelum ke Laguna, kami menyempatkan diri berkeliling ITS, kampus yang tidak pernah sepi dari para lelaki, hanya sekedar untuk cuci mata. Maklum, di kampus kami sangat jarang ditemukan cowok-cowok aneh seperti di ITS. Saya yang berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, dan ketiga teman saya di Jurusan Ekonomi hanya dapat menemukan cowok2 bergaya metro yang ah..neh lah menurut mata saya.

Setelah puas berkeliling di ITS kami pun melanjutkan perjalanan ke Laguna. Kawasan ini memang indah. Walaupun keindahannya hanya buatan tangan manusia. Tapi ya.. tidak bisa dipungkiri, memang indah. apalagi disini kami bisa memanjakan mata dengan melihat bangunan rumah elite dan membayangkan seandainya kami ada di dalamnya. Sebagai tuan rumah tentunya, bukan pembantu.

Kelelahan mengagumi bangunan indah di Laguna, Anggita dan Anna pun memutuskan untuk pulang. Tapi rasa lelah itu bukan berarti apa2 buat saya dan Merry. Kami berdua pun memutuskan melanjutkan perjalanan kami ke Pantai Kenjeran, dengan asumsi bahwa pantai kenjeran terletak tidak jauh dari Laguna. Meski buta dengan daerah sekitar kenjeran, kami tetap nekat dan membulatkan tekad untuk tetap pergi ke kenjeran.

Berbekal sedikit informasi bahwa untuk menuju kenjeran lebih baik melewati jalan mulyosari, saya dan Merry pun menyusuri jalan yang padat tersebut hingga ujung. Tepat di ujung jalan mulyosari kami mendpati sebuah plang bertuliskan Kenjeran, Suramadu, dantanda panah di bawahnya. "wah sudah dekat mer!" ucap saya pada meri yang menyetir di depan.

Kami pun menyusuri jalan yang ditunjuk tanda panah pada plang tadi. Setelah seberapa lama, kami menemukan sebuah plang bertuliskan jalan kenjeran. "wah sudah sampai" pikir saya.

Jalan kenjeran sudah kami lalui tapi kami tidak kunjung menemukan pantai kenjeran. Alih-alih sampai di pantai kenjeran, kami justru tiba di kya kya kembang jepun. Sebuah wilayah di Pecinan di Surabaya. Seingat saya, di peta kembang jepun itu berada di kawasan Surabya Utara, sedangkan kenjeran kan di Surabaya Timur? Sadar kami salh, kami pun mencari jalan untuk kembali ke jalan kenjeran. Setelah menemukan plang yang sama seperti kami lihat tadi, kami pun kembali menyusuri jalan kenjeran. alhasil, kami kembali lagi ke kya kya.

Ini adalah sebuah kebodohan. kesasar kok dua kali. pikir saya.

Lalu kami mencoba alternatif lain. Kami mengikuti plang yang bertuliskan arah menuju Jembatan Sura,adu, jembatan yang menghubungkan Surabya dan Madura yang hingga kini belum selesai pembangunannya. Kami pikir, Suramadu pasti melewati laut,jadi kami pasti menemukan pantai di sana.

Jalan menuju suramadu ternyata sangat panjang. Kami juga harus melewati jalan yang sempit, penuh dengan truk, dan pasar yang kumuh di pinggir jalan.

Lama-lama saya khawatir, kok tidak sampai juga. Tapi Merry mendinginkan hati saya. dia bilang" wes ta jeng, kita ikuti saja kemana air mengalir". saya pikir benar juga, karena air kan bermuara ke laut.

Lama berkendara, ternyata bukan laut yang kami temukan, melainkan sebuah bangunan jembatan yang belum selesai dibangun. Beruntung, kami menemukan salah satu sudut yang memperlihatkan keruhnya air laut. Ternyata kenjeran tidak berada di dekat suramadu. merasa putus asa, kami pun memutuskan untuk pulang.

Namun, jalan pulang ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Kami harus melewati jalan yang super sempit di sebuah perkampungan Madura. agak merinding sih, mengingat berbagai stereotipe yang seberikan pada orang2 suku madura. Walaupun kami belum pernah saya belum pernah membuktikannya, bahkan teman saya yang berasal dari madura sangat ramah. Tapi berada di perkampungan asing tetap menakutkan.

Akhirnya, setelah tiga jam berjuang keras melewati liku-liku jalan sempit di perkampungan madura, dengan berbekal ilmu gambling yang kami pelajari selama kuliah, kami pun bisa menemukan jalan yang cukup kami kenal dan tid di kos dengan sehat wal afiat, tidak kurang suatu apa, kecuali bensin yang langsung kosong...

Yah semoga kisah saya sebagai orang kesasar bisa menjadi pelajaran bagi anak2 saya kelak, bahwa tidak selamanya kita harus mengikuti arah aliran air..

Wednesday, May 30, 2007

hai....

hai...
nama saya ajeng
ini adalah pertama kalinya saya membuat sebuah blog.
hehehe... telat banget yah..
iya sih sebenarnya sudah pengin dari dulu, tapi ditunda2 terus, takut..nanti nggak bisa menjaga konsistensi menulis di blog..hehehe
ge er banget yak, siapa juga yang mau baca blog-saya hehe..

yah kali-kali aja ada..

btw, hari ini saya mengalami kejadian aneh

tadi pas mau pulang dari kampus, di parkiran FISIP Unair, kampus tempat saya menimba ilmu,saya melihat dua orang cewe, minta di-photo-in sama pak tukanmg parkir kampus saya.
sebenarnya sih bukan hal yang aneh, tapi kenapa harus pak parkir yak?

setelah puas melihat mereka bergaya di depan pak parkir,saya pun pulang.

jalan kaki lewat depan parkiran sastra

trus belok kanan, lewat depan parkiran D3 FE

nah di depan parkiran mobil FE itu, lagi-lagi saya melihat seorang cewe, yang lagi pose di atas mobilnya. di depannya ada seorang laki-laki memakai baju seragam PARKIR membawa handphone, dan... memotret cewe itu.
jadi ternyata cewe itu tadi berpose untuk diambil gambarnya oleh pak tukang parkir FE..

saya jadi merasa bahwa sebuah keanehan telah terjadi.

dua kali dalam waktu yang hampir bersamaan melihat cewe, minta diphoto-in oleh tukang parkir..

wah wah.. mungkin ini adalah sebuah pertanda..

profesi tukang parkir ternyata menjadi idola para cewek saat ini..

atau jangan-jangan... ini adalah sebuah pertanda dari Tuhan, bahwa jodoh saya nanti adalah seorang tukang parkir...

hiyaa..

tapi gak papa dink, asal tukang parkirnya seganteng ashton kutcher dan sekaya donald thrump..