Thursday, October 4, 2007

Sukses a la Tianshi

Akhir bulan lalu saya mendapat tugas, meliput tren busana muslim Ramadhan dari beberapa butik di Surabaya. Mendengarnya, jelas saya senang sekali. Sekalian cuci mata, pikir saya.

Sebagai seorang perempuan wajar kalau saya menyukai dunia fashion. Meski harus saya akui, saya termasuk dalam golongan orang-orang yang old fashion. Tidak pernah mengikuti perkembangan dunia fashion. Buat apa, menurut saya. Toh tidak semua pakaian yang sedang menjadi tren dikalangan anak muda seperti saya, kalau boleh saya menyebut diri saya begitu, cocok untuk bentuk tubuh. Jadi menurut hemat saya lebih baik berpakaian ala kadarnya, yang penting nyaman dipakai dan tidak bertenangan dengan aturan yang saya anut.Apapun yang akan orang katakan.

Bukan hanya old fashion, saya juga termasuk orang yang cuek terhadap tanggapan orang lain mengenai penampilan saya. Bagi saya, rasa nyaman dan percaya diri ketika mengenakan satu busana jauh lebih penting daripada komentar orang terhadap warna atau model baju yang saya pilih.

Meski demikian saya masih tetap seperti perempuan kebanyakan yang gila fashion. Berkeliling ke toko-toko pakaian, mengincar diskonan, melihat-lihat dan bahkan mencoba beberapa baju bermerk yang mungkin saya harus menabung terlebih dahulu untuk membelinya, dan membayangkan seandainya saya mengenakan baju tesebut. Gila memang.

Kesempatan mengunjungi beberapa butik tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk cuci mata. Sekadar melihat model, siapa tahu bisa ditiru. Sebab lembaran di dompet saya tidak cukup untuk membelinya.Mengeluarkan kartu ATM?Saya masih cukup rasional untuk tidak mengeluarkan kocek demi sepasang kain cantik berpayet yang sangat dewasa.

Namun salah satu narasumber yang ingin saya temui tidak ada di butik miliknya. Wawancara pun akhirnya saya lakukan via telepon. Merasa kuran puas, saya akhirnya mengajaknya untuk bertemu. Sang narasumber yang merupakan bisnis woman ini pun menyanggupi. "Baik mbak, jam 1 di toko ya," katanya waktu itu.

Jam 1 lewat 15 menit saya datang kebutiknya yang berada di kawasan dukuh kupang. Menurut sekretarisnya, orang yang saya tunggu ini belum tiba dari Gresik. Dengan penuh kesabaran, saya memutuskan untuk menunggu sambil melihat-lihat pakaian saja.

30 menit berlalu. Tapi orang yang saya tunggu belum juga tiba. Merasa kasihan melihat saya yang mondar-mandir sambil sekadar memilah-milah pakaian, ibu sekretaris pun menghubungi narasumber saya. Beberapa menit berbicara di telepon, saya pun memutuskan menemuinya dia Wisma Tiara, tempat narasumber saya akan melakukan aktivitas berikutnya.

Wisma Tiara adalah sebuah gedung perkantoran di bilangan panglima sudirman. Perlu memutari jalan panglima sudirman dan basuki rahmat dua kali bagi saya untuk menemukan gedung dengan tulisan Wisma Tiara tersebut.


Sesuai dengan anjuran narasumber, setelah memasuki Wisma Tiara saya pun langsung menuju lantai 5. Pada awalnya saya merasa aneh. Semua orang yang saya temui di lift menuju lantai lima. Mereka mengenakan pakaian formal, berjas dan berdasi. Padahal seingat saya gedung ini berlantai 9. Kenapa hanya lanati 5 yang jadi tujuan? Namun, pertanyaan saya terjawab setelah saya menginjakkan kaki dia lantai 5.

Saya mengeluarkan HP dan menekan nomor yang sudah beberapa kali saya telepon. "Bu, saya sudah di lantai lima," kata saya seketika mendengan telepon diangkat dari seberang. "O'ya sebentar mbak. Saya masih di tol Gresik. Dua puluh menit lagi saya sampai. Mbak masuk saja ke ruangan, nanti disitu diminta registrasi 7ribu. Nanit saya ganti mbak. Duduk di depan ya! Itu juga ilmu kok," jawab narasumber saya tanpa tersela.

Seandainya tidak didesak keperluan wawancara, saya yakin tidak akan pernah menginjakkan kaki di ruangan tersebut. Sekalipun ada undangan dengan iming-iming ditraktir makan sekalipun.

Memasuki ruangan tidak terlalu luas tersebut saya memutuskan duduk di pinggir. Supaya terlihat oleh narasumber saya. Di sebelah saya seorang ibu-ibu berpakaian sederhana, terlihat mengangguk-angguk sambil sesekali berbisik dengan rekan di sampingnya, mendengar penjelasan seorang presentasi di depan. dr.Dewi, begitu orang-orang berjas itu menyebut presenter itu. Saat saya masuk, dr.Dewi sedang menjelaskan kaki-kaki atau anak cabang yang menghubungkan dari satu member dengan member lain. Juga tentang perhitungan keuntungan yang akan diperoleh per bulan saat seorang member bisa memasukkan member baru untuk bergabung.

Ya, saya ada dalam ruangan OPP Tianshi. Tak usai-usainya saya merasa heran, kenapa akhirnya nasib membawa saya untuk datang di acara ini. Padahal ajakan beberapa teman sesama Magetanisti yang sukses mempopulerkan di daerah asal saya sejak beberapa tahun lalu selalu saya abaikan. Saya tolak mentah-mentah bahkan. Dengan dalil-dalil yang saya buat sendiri. Dengan keraguan saya akan kebenaran syar'inya. Dengan alasan kesibukan, dan lain sebagainya.

Namun, demi tuntutan pekerjaan saya pun mengikuti acara tersebut dengan seksama. 20 menit berlalu. 30 menit. 40 menit. Satu jam berlalu sudah. Sementara narasumber yang saya tunggu belum juga tiba. Waktu pun akhirnya saya lalui dengan memandang heran kepada para peserta OPP. Bertepuk tangan setiap kali ada seseorang yang menunjukkan betapa suksesnya dia sebab mendapatkan gaji 20 juta perbulan. Atau betapa suksesnya dia karena telah berhasil mendapatkan mercy. Bahkan, tepuk tangan pun diberikan untuk sebuah tayangan video yang menampakkan seorang member yang telah sukses mendapatkan helikopter dan menempati bintang tertinggi di struktur 'kaki-kaki', bergitu saya menyebutnya, Tianshi.

Mungkin ini adalah bentuk kesuksesan bagi mereka. Pikir saya. Saya tidak mau memberikan judgment, apakah pandangan saya atau konsep kesuksesan mereka yang benar. Tapi saya akhirnya memahami, kesuksesan bisa kita peroleh ketika kita juga membantu orang lain untuk menjadi sukses. Maka jangan pernah menganggap orang lain sebagai kompetitor yang akan harus kita jatuhkan. Melainkan bantulah orang lain untuk mencapai kesuksesan, maka kita akan mendapatkannya dua kali lipat.

Satu jam lebih menunggu, narasumber saya akhirnya datang juga. Akan tetapi tidak serta merta saya bisa langsung melakukan wawancara. "Sebentar ya mbak, habis ini saya peresentasi di depan," katanya. Rupanya narasumber saya itu adalah salah satu bintang 8 di Surabaya yang telah memperoleh pendapatan 40 juta perbulan.

20 menit menunggunya dan 2 orang lain presentasi di panggung, akhirnya giliran saya untuk wawancara tiba. Cukup 15 menit kami berdialog. Data tambahan sudah cukup bagi saya. Saya pun pulang dengan membawa segudang ilmu tentang Tianshi dan 'kaki-kaki'. Juga tentang sebuah arti kesuksesan.

1 comment:

  1. kamu di desk lifestyle ya? di koran apa? sukses yoo! Jalani hidup menurut keyakinan&kata hatimu!

    ReplyDelete