Thursday, January 1, 2009

Detik Terakhir

Kaliurang, 30 Desember 2008

Dua kali lagi matahari tergelincir, maka akan bertambah satu angka umur saya. Ah cepat sekali bumi berputar. Rasanya belum banyak yang saya perbuat tahun 2008 ini. Menikah, misalnya, hehehe. Eh saya sudah harus mengganti kalender dengan yang baru.
Saya memang belum sempet beli tanggalan, tapi liburan di rumah kemarin, pemetaan tahun 2009 sudah dimulai. Pinjam tanggalan ibuk. Kata beliau, “Golek tanggal ye, nduk?”.
Saya senyum-senyum aja. Hobi saya memang memandangi kalender. Selain menghitung banyaknya hari libur, saya suka membayangkan apa yang saya bisa dapatkan di waktu tertentu. Target. Itu istilah singkatnya. Namun saya tidak cukup pede untuk menyatakan sesuatu sebagai target.

Berlama-lama menatap kalender juga berarti membangun setinggi-tingginya harapan bagi saya. Apalah artinya hidup tanpa harapan, bukan? Tidak perlu dijawab, karena ini hanya pertanyaan retoris.
Sampai hari ini, dua hari menjelang pergantian tahun masehi, saya belum juga menentukan resolusi, begitu istilah yang dipakai para artis, sepanjang tahun 2009 nanti. Impian sih ada. Tapi ternyata butuh keberanian besar untuk sekedar memutuskan apa yang saya inginkan. Butuh tak sebentar masa untuk menterjemahkan pikiran. Hingga seluruh syaraf motorik yang saya miliki bergerak searah jalannya pikiran. Gimana mau bergerak, kalau untuk men-decode saja susah. Itulah bedanya kita dengan anak-anak, yang tanpa beban bicara tentang berjuta keinginan. Ibaratnya dunia ini hanya berputar untuk mereka.

Lalu kita? Usia yang beranjak dewasa membawa pikiran kian realistis. Bahkan terkadang cenderung pesimis. Mimpi saja tidak berani. Takut berharap, nanti kalau jatuh sakit. Selalu itu saja alasannya. Makanya saya kagum dengan Uus. Seorang teman dari Madura yang tak pernah berhenti bermimpi setiap kali ia mulai membuka mata. Menguras tenaga untuk berlari menggapainya hingga kaki bengkak sekalipun.

Hidup.

Bernafas.

Berjalan.

Makan.

Kentut.

Tidur.

Pipis.

Apalagi yang bisa saya lakukan selain itu?

Menikah dengan lelaki luar biasa. Punya anak lima. Menjadi manajer tim futsal anak-anak saya. Duduk di kursi tinggi. Tanda tangan bertumpuk-tumpuk kertas. Memimpin rapat. Menyeduh secangkir kopi untuk suami tiap pagi. Berkawan dengan microwave dan kue-kue panggang. Memasang kancing baju ayahnya anak-anak yang lepas. Menjadi penasehat karir dan kehidupan tiap malam. Menjadi guru les tiap sore di rumah. Menjadi makmum dalam setiap shalat.

Aih indahnya...

Kaliurang, 31 Desember 2008

Malam tahun baru pertama saya di Jogja. Tidak ada acara nonton tv atau meringkuk di atas tempat tidur seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak pula bercengkrama bersama keluarga atau sahabat-sahabat saya.

Malam tahun baru pertama saya di Jogja. Mengerutkan dahi. Membelalakkan mata. Memusatkan kosentrasi. Memeras otak. Menelisik jalan alternatif. Merumuskan bentuk terbaru.

Malam tahun baru pertama saya di Jogja. Kami, jejaring Dompet Dhuafa berkutat dengan rumus-rumus sosial untuk mencari formasi baru. Dompet Dhuafa Jogja sedang bermetamorfosis. Menggali kembali jati dirinya untuk menggerakkan seluruh sumberdaya, agar target 3M per tahun masuk kantong dan masyarakat miskin di Jogja tak ada lagi dalam statistik BPS.

23.55 WIB

Melongok ke luar jendela. Yang terlihat hanya barisan-barisan anak muda. Gas motor yang di blayer-blayer. Letupan kembang api. Sementara kami masih saling mengajukan argumen.

1 Januari 2009

00.03 WIB

Palu diketok. Tanda kesepakatan dalam genggaman. Di luar jendela riuh semakin menjadi-jadi. Anak-anak muda semakin menggila.

00.10 WIB

Menahan mata yang kian berat. Memandang keluar jendela. Tinggal asap kembang api saja yang tersisa buat saya.

Nasib.....

1 comment:

  1. saya pernah melewati yang mirip seperti itu, 31 Desember 1992. di kali adem tepatnya, pk. 23.50. sebab sore sebelumnya masih di kinahrejo.

    16 tahun kemudian, lebih sadari. bahwa kepada ALLOH. akhirnya kita kembali. think better. do better. live better...

    ReplyDelete